tag:blogger.com,1999:blog-90152813020441472762024-03-05T20:27:00.053+07:00Widz_Kunx's | SmallWorldWidhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.comBlogger96125tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-53618083667802521202010-06-05T14:47:00.000+07:002010-06-05T14:47:03.917+07:00Andai Gaza di Depan Rumahmu<!--[if gte mso 9]><xml> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> </xml><![endif]--><!-- --><!--[if gte mso 10]> <mce:style><! /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} --> <!--[endif]--> <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://muhsinlabib.files.wordpress.com/2008/11/gaza1-743448.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="288" src="http://muhsinlabib.files.wordpress.com/2008/11/gaza1-743448.jpg" width="320" /></a></div><br />
<br />
Apa yang biasanya kautemui di depan rumahmu ketika bangun dari tidurmu? Apa yang biasa kau lihat? Apa yang biasa kau hirup? Apa yang biasa kaurasakan? Tepat setelah kau bangun dari tidurmu dan kau buka pintu rumahmu?<br />
<br />
Pernahkah kau bayangkan, ketika kau buka matamu, yang biasa kau temui di pagi harimu, segalanya menjadi jauh berbeda?<br />
<br />
Ketika kau membuka mata. Ada pemandangan yang tak pernah kau kira. Ketika kau membuka mata. Ada Gaza.<br />
<a name='more'></a><br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Andai Gaza di depan rumahmu. Apa yang akan kaulakukan Saudaraku?<br />
...<br />
<br />
Tak perlu kau tanyakan bagaimana bisa. Meskipun cuma seandainya, tak ada hal yang tak mungkin bagi-Nya. Cukup bayangkan saja...<br />
<br />
Ketika pagi, kau buka matamu. Kau heran, kenapa tak ada suara azan terdengar? Alih-alih, justru suara-suara menggelegar?<br />
<br />
Lalu kau bergegas menuju pintu rumahmu. Kau buka, lalu seketika tak percaya.<br />
...<br />
<br />
Kegelapan yang biasa kau lihat, kini telah diterangi cahaya ledakan yang berkilat-kilat. Silau! Seolah retinamu tertusuk! karena masih terbawa kantuk.<br />
<br />
Segarnya udara pagi yang murni dan belum tercemari, kini berganti dengan tajamnya mesiu yang menusuk paru-paru. Tak ada lagi udara yang menyegarkan seluruh tubuhmu. Melainkan mesiu panas dalam setiap hirupanmu.<br />
<br />
Hawa dingin yang biasa menyengat hingga memaksamu mengenakan jaket rangkap, kini dipanasi oleh puluhan ledakan yang berasap.<br />
<br />
Ketika kau mulai terheran, ketika itu pula kau bertanya-tanya "Apa yang harus kulakukan? Ini asli! Bukan berita yang setiap hari kulihat di TV!" ujarmu.<br />
...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Kemarin, beberapa hari sebelum hari ini...<br />
<br />
Kabar dan berita, tiap hari kausaksikan dan kau baca. Hampir tiap hari pula, disampaikan kepadamu oleh mereka, berita tentang Palestina serta konfliknya di Jalur Gaza. Lalu, setelah mendengar dan atau melihatnya dengan mata kepala (melalui layar kaca), kau diam serta tak berbuat apa-apa selain doa.<br />
<br />
"Masih banyak urusanku yang lain" jawabmu.<br />
<br />
Pendidikan katamu. Jika kau seorang pelajar. "Aku harus menuntut ilmu, menggali kemudian mengkaryakannya agar berguna bagi negaraku". Begitu jawabmu.<br />
<br />
Mencari nafkah katamu. Jika kau seorang kepala rumah tangga. "Aku harus menghidupi keluargaku dengan cucuran keringatku. Aku memiliki nyawa-nyawa lain yang bergantung dan menjadi tanggung jawabku". Begitu jawabmu yang lain.<br />
<br />
Serta berbagai jawaban lain yang senada. Jawaban dari orang-orang yang termasuk dalam golongan realistis yang tak suka <i>taking a risk. </i><br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div><br />
Itu kemarin. Kini segalanya telah lain. Kau tak bisa berkata "maaf, tidak" kepada seruan dan ajakan yang mengulurkan tangannya, memintamu menyambutnya dan menyerahkan diri secara sukarela dengan niat tulus dan lurus, menjadi mujahid Allah Ta'ala.<br />
<br />
Tak perlu lagi dalam-dalam merogoh kocekmu untuk transportasi. Kini segalanya ada di depan matamu. Lapangan jihad melawan Zonis terlaknat.<br />
<br />
Di depan matamu, kau saksikan mortir berjatuhan. Di sekelilingmu, kaudengar ledakan granat, serta suara rentetan senapan yang memekikkan.<br />
<br />
Ini bukan layar kaca! Segalanya nyata! Mayat yang tak lengkap lagi organ di tubuhnya berserakan di mana-mana. Tua-muda, kecil-dewasa, pria-wanita, semua menjadi korbannya.<br />
<br />
Lautan darah di sepanjang kau memandang. "Kenapa tak anyir? Kenapa tak amis? Sebaliknya, harum... Inikah syahid?" begitu pikirmu.<br />
<br />
Tiba-tiba sebuah bom dijatuhkan di dekatmu. Suaranya memecahkan lamunanmu. Ledakannya mementalkan tubuhmu. Kau bangun, tubuh dan seluruh persendianmu terasa ngilu. Kau melihat rumahmu, kini telah menjadi abu. Lalu kau sadari, tak ada waktu untuk termangu. Keputusan harus dibuat secepat kilat. Jihad. Atau habis riwayat.<br />
...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Andai Gaza di depan rumahmu... Akankah kau terlalu sayang akan nyawamu? Bersembunyi di sudut redup, karena percaya kata logika, jika berontak, tak ada harapan hidup.<br />
<br />
Andai Gaza di depan rumahmu... Atau akankah kau pungut senapan di dekatmu. Berdiri. Mengumpulkan keberanian, berlari ke depan. Bergabung bersama para mujahid yang telah siap bahkan mencari Syahid.<br />
<br />
Bukan mengantarkan nyawamu. Tapi memberikan perlawanan. Karena itu kewajiban.<br />
<blockquote>"<i>Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. yaitu orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar.</i>" (Q.S. al-Hajj : 39-40)</blockquote><br />
Bukan pula karena panggilan. Tapi kebutuhan. Karena Gaza tak pernah membutuhkanmu. Tapi kaulah yang membutuhkan Tuhanmu.<br />
<blockquote>"<i>Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.</i>" (Q.S. at-Taubah : 111)</blockquote>...<br />
<br />
<div align="center">***</div><br />
Maka, ketika dihadapkan dalam kondisi demikian, apakah kau akan bersyukur? Bergembira karena dapat menjadi Mujahid-Nya.<br />
<br />
Ataukah justru kau bersyukur karena sekarang kau tak berada dalam keadaan dimana nyawa menjadi taruhan?<br />
<blockquote>"<i>Hai manusia sekalian! Janganlah kamu mengharapkan pertemuan dengan musuh dan mohonlah kesehatan kepada Allah. Namun apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bersabarlah</i>" (H.R. Muslim)</blockquote><br />
Jika kau adalah golongan yang pertama, jika rumahmu bukanlah di Gaza atau Palestina. Kau ingin, tapi karena hambatan beberapa hal ‘teknikal', hingga tak memungkinkanmu pergi kesana. Janganlah berduka. Ketahuilah... Hampir semua ayat berjihad, selalu diikuti kata "... dengan harta, dan jiwa mereka..."<br />
<blockquote>"<i>Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.</i>" (Q.S. at-Taubah :20)</blockquote><br />
Karena ‘Gaza' yang lain, ada di depan matamu. Di dalam dirimu. Ia berbentuk ‘Nafsu'.<br />
<br />
Wallahua'lam bisshowab... (/dhi)Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-34515394153587320692010-06-05T14:23:00.001+07:002010-06-05T14:39:43.596+07:00Anu...<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.truelifekarma.com/images/emptiness.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="253" src="http://www.truelifekarma.com/images/emptiness.jpg" width="320" /></a></div><br />
<br />
"Ini bagaimana?"<br />
<br />
"Begini Pak.. Anunya itu, dianukan.. Sampai itunya anu.."<br />
<br />
"?????"<br />
...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Aku terpingkal mendengar cerita tetanggaku yang kuyakin bukan rekayasa itu. Dalam ceritanya, dia memiliki seorang bawahan dengan kemampuan komunikasi ganjil.<br />
<br />
Aku juga tak habis pikir, manusia sejak kecil menerima masukan bahasa. Jumlah kosakatanya semakin diperkaya melalui interaksi sosial dengan sekitarnya. Bahkan pelajaran bahasa pun diberikan di sekolahan.<br />
<br />
Tak cukup hanya 2 bahasa saja. Belum lagi dari berbagai literatur bacaan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengisi cawan kosakata, database dictionary, dalam memory linguistik manusia.<br />
<br />
Mengetahui bahwa masih ada orang yang terbata-bata berbicara dan hanya mengkombinasikan tiga kata (anu, itu, ini) saja, sungguh fenomena yang layak masuk berita.<br />
<a name='more'></a><br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Tak perlu memperpanjang gunjingan. Jika menilik keseharian masyarakat Jawa, hal tersebut hanyalah ke-lebih biasa-an dari sebuah kebiasaan.<br />
<br />
Kebiasaan apa?<br />
<br />
"Anu..."<br />
...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div>Anu, entah siapa yang pertama kali mempopulerkan. Kata tersebut sungguh luar biasa kaya maknanya. <i>Portable</i>, universal, entah apalagi yang bisa menggambarkan kejamakan makna kata ini : anu.<br />
<br />
Mulai dari kata kerja, kata benda, kata keterangan, kata sifat, semua kategori masuk dalam satu kata : anu.<br />
Hebatnya orang Jawa, bahkan hanya dengan berkata "anu.." tak perlu lagi bertanya ba bi bu, cukup : anu. Lawan bicara biasanya langsung mengangguk, entah setuju, atau tak tahu.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Masih lekat dalam ingatanku. Ketika aku kanak dulu. Bermain dan bercanda dengan teman sebayaku. Ketika salah satu mengkasariku, kuadukan pada ibuku sembari tersedu. "Aku di-anu".<br />
<br />
Spontan kata itu terucap dari mulutku. Yang maksudnya, aku sendiripun tak tahu. Entah karena memang tergagu, atau tak tega lalu kemudian melindungi si pelaku. Karena bagaimanapun juga, dia temanku.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Ah... Anu. Kaya sekali maknamu. Ketika aku butuh jawaban spontan dan segera, kaulah tujuanku. Ketika makna yang kutuju sedikit banyak mengandung tabu, kau pulalah jawabanku.<br />
<br />
<div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Apakah memang kaya? Atau sebenarnya kau tak memiliki makna apa-apa selain kebimbangan belaka?<br />
Alih-alih menjawab pertanyaanku, apakah kini kau malah memandangku dengan tertawa? Mengolokku dengan berkata :<br />
<br />
"Akulah hidupmu. Manifestasi serta perwujudan dirimu. Penuh dengan bimbang dan rasa ragu. Mudah surut, nyali ciut, hanya karena terpengaruh ‘suara', serta takut pada risiko yang jika dibandingkan manfaatnya, besarnya tak seberapa.<br />
<br />
Kau sebut fleksibel, hanya untuk menutupi kelemahanmu yang tak bisa fokus dan berkala pada tujuanmu.<br />
...<br />
<br />
Akulah hidupmu. Manifestasi serta perwujudan dirimu."<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>"Persetan denganmu! Aku telah tahu sejatinya hidupku!"<br />
<br />
"Apa?"<br />
<br />
"Anu...."<br />
<br />
(/dhi)Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-40078550888616967422010-06-05T13:39:00.001+07:002010-06-05T14:04:53.517+07:00Ada Kuburan di Tepi Jalan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://arulchandrana.files.wordpress.com/2009/08/kuburan-dumbledore.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="http://arulchandrana.files.wordpress.com/2009/08/kuburan-dumbledore.jpg" width="320" /></a></div><br />
<br />
<br />
<br />
"Wid! dah pernah denger belom? Di tikungan Ketinggring itu?"<br />
<br />
"Mangnya ada apa?"<br />
<br />
"Masa ga tau? Di daerah situ angker Wid... ati-ati kalo lewat sana... Nyebut..."<br />
<br />
"Apa? Ngebut?"<br />
<br />
"Nyebut! Buset dah ni anak!"<br />
<br />
"Sori bang... yang dimana si?<br />
<br />
"Itu, yang tikungan tajem itu..."<br />
<br />
"Oh... yang di pinggir jalan ada kuburannya?"<br />
<br />
"Nah disitu! Dah banyak kasus Wid! Yang diboncengin pocong, yang dihalangi pocong rebahan di tengah jalan, yang suara-suara misterius, pokoknya banyak deh!"<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
"Emang abang pernah liat!"<br />
<br />
"Belon si..."<br />
<br />
"Beuh! Gw mah pernah ketemu bang!"<br />
<br />
"Beneran? Gimana critanya?"<br />
<br />
"Waktu gw ketemu dia ne! Dia biling gini ma gw :<br />
<br />
<blockquote>"Lo mo lari ya bang... Lo bisa lari dari gw, dari <i>medi, </i>tapi lo ga bakalan bisa lari dari mati'</blockquote><blockquote>... "</blockquote>...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Ada kuburan di tepi jalan. Kulewati setiap hari. Bukan hanya aku, puluhan, bahkan mungkin ratusan kendaraan melewatinya setiap hari. Juga bukan hanya disini, aku yakin puluhan, bahkan ratusan kuburan berada tepat di tepi jalan.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kalo lewat di depan kuburan, bilang <i>nuwun sewu</i>.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Begitu kata orang tua dulu. Entah teori darimana. Kurasa, karena sudah budaya Jawa, ‘terlalu' menghormati orang yang lebih tua, bahkan yang ‘terlalu' lebih tua pun kebagian rasa hormat itu. Aku tak mau berprasangka buruk untuk mengatakannya syirik.<br />
<br />
Pun, melihat para santri dan kyai pondok pesantren dari berbagai penjuru berbondong-bondong secara musiman <i>ngarep berkah</i> ziarah ke makam-makam para wali. Aku masih tak berprasangka buruk. Mungkin mereka cuma ingin ‘kirim fatihah'.<br />
<br />
Perihal ‘mahal'nya biaya untuk kirim fatihah, sampai harus repot-repot dan jauh-jauh, aku juga masih ingin berprasangka positif. Santri juga butuh <i>refreshing</i>.<br />
<br />
Terbukti, pernah suatu hari, aku diajak dalam tour ziarah. Dan yang menggelitik mataku adalah, terlampir dalam selebaran itu, tujuan akhir dari tour ziarah ini adalah Pulau Bali!<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kembali, ada kuburan di tepi jalan. Setiap hari kulewati. Keberadaannya, seperti melambai-lambai, menggapai-gapai, meraih-raih, setiap orang yang melewati. Berharap untuk sekedar menengoknya, beruntung jika mengingatnya.<br />
<br />
Tak terhitung, entah berapa kali aku melewati kuburan ini setiap hari. Begitupun dengan kendaraan lain. Kuyakin, sama sepertiku, tak sempat mereka repot-repot menghitung.<br />
<br />
Tapi, kuharap mereka sama sepertiku juga, sempat untuk menyadari.<br />
<br />
Menyadari keberadaan kuburan ini... Menyadari mati.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kudengar sambutnya tiap pagi. Bergaung. Bergema. Keras! Lantang! Melebihi klakson ketergesaan pagi yang menyalak jalang.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
<blockquote>"Kemana kau pergi? Berangkat beraktifitas? Pergilah! Carilah nafkah! Tapi pastikanlah semuanya barokah. Carilah ilmu! Tapi pastikanlah, tak kau monopoli hanya untuk dirimu. Pandangi aku! Sadari! Bahwa kau akan jadi bagian dariku. Maka, kau akan ingat semua itu."</blockquote><div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kudengar sapanya tiap senja. Sayup. Tapi tetap terdengar. Bahkan membuat jiwa bergetar.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
<blockquote>"Selamat jalan kawan.. Pulang. Mungkin juga berpulang. Tak ada jaminan esok datang."</blockquote><div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Mendengar sapanya. Aku tersadar. Kuburan itu, bukan di tepi jalan.<br />
<br />
Tapi tepat di tengah jalan. Di depan mata.<br />
<br />
Dekat... Sangat dekat...<br />
...<br />
<br />
(/dhi)Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-78241531226865907062010-06-05T13:20:00.000+07:002010-06-05T13:20:06.663+07:00Hikayat Slamet<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://petromaks.files.wordpress.com/2007/04/sampan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://petromaks.files.wordpress.com/2007/04/sampan.jpg" width="264" /></a></div><br />
<!--[if gte mso 9]><xml> </xml><![endif]--><br />
<!--[if gte mso 9]><xml> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> </xml><![endif]--><!-- --><br />
<!--[if gte mso 10]> <mce:style><! /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} --><br />
<!--[endif]--> Namaku Slamet. orang Jawa. Orang desa. Kalau orang kota bilang, aku orang udik. Namaku juga pasaran. Pasti ada di setiap tikungan. Sama nasibnya seperti Asep di tanah Parahyangan.<br />
<br />
Padahal, maksud bapak sama simbokku baik. Ngasih nama Slamet ya supaya Selamat. Ga Cuma di dunia, tapi di akhirat.. Kata orang nama adalah doa. Dan kurasa, Slamet adalah doa paling <i>simple </i>tapi lengkap. Seperti doa sapu jagad.<br />
<br />
<blockquote><i>"robbana atina fiddunya khasanah. Wafil akhirati hasanah"<a name='more'></a></i></blockquote><br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Met! Pergi beliin simbok minyak tanah..."</blockquote><blockquote>... </blockquote><blockquote>"Ya mbok..."</blockquote><br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Aku pengangguran. Maka, perintah-perintah seperti membeli minyak tanah, apapun keperluan ke warung sebelah, menjadi keseharian yang aku hanya bisa pasrah.<br />
<br />
Lulusan SMA sepertiku, semakin tak punya nilai saing di tengah gilasan globalisasi seperti sekarang ini. Aku hanyut oleh arus media dan informasi yang tak bisa kuarungi karena keterbatasan fasilitas maupun kapasitas diri.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Ini kapitalisme Met..."<br />
...</blockquote><br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Begitu kata Bejo. Tetanggaku, yang juga kawan masa kecilku. Seperti namanya, dia bejo (beruntung -Ind) bernasib baik. Orang tuanya mapan secara ekonomi. Hingga sekarang, dia bisa sekolah sampai perguruan tinggi.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Sekolah mahal Met.. Maaf.. Mbok ga bisa nyekolahin kamu..."</blockquote><br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Aku hanya bisa mengangguk haru. Simbokku, seorang babu. Untung anaknya hanya aku. Satu.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
...<br />
<br />
Langit masih gulita. Sengaja aku mendahului simbokku yang memang biasa telah terjaga di pagi buta. Sholat shubuh di mushola, maupun menyiapkan makanan dan segala rupa.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Tulisanku dalam suratku. Aku yakin, ketika membacanya, mbok meremasnya di dadanya, menitikkan air mata. Lirih gumam dari bibirnya mengiringiku, tapi aku bisa mendengarnya berkata :<br />
<br />
<blockquote>"Semoga kamu slamet nak.."</blockquote><br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Mbok, aku pergi... Kita tak punya, pun tak bisa membelinya. Aku akan membuatnya...<br />
<br />
Perahu Mbok..."<br />
...</blockquote>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-2014991269809633802010-06-05T11:56:00.000+07:002010-06-05T11:56:56.251+07:00Tembok Transparan<!--[if gte mso 9]><xml> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> </xml><![endif]--><!-- --><!--[if gte mso 10]> <mce:style><! /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm; mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} --> <!--[endif]--> <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:Wm9z-yi8BwEHKM:http://achyar89.files.wordpress.com/2009/06/menulis.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="283" src="http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:Wm9z-yi8BwEHKM:http://achyar89.files.wordpress.com/2009/06/menulis.jpg" width="400" /></a></div><br />
<br />
<br />
"Tak bisa lagi menulis"<br />
....<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div>Kalimat itulah yang ada di benakku. Selalu terngiang-ngiang, malam dan siang. Telah berkali-kali kucoba, tapi tetap tak bisa. Otakku selalu terbata untuk memulai kembali kata.<br />
<br />
Aku tak tahu, apakah ini hanya jenuh, atau aku benar-benar tak bisa? Apakah memang fitrahku bukan menjadi penulis? Hingga aku benar-benar kesulitan memulai kembali setelah lama mengistirahatkan diri.<br />
<a name='more'></a><br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><div align="center"><br />
</div>Ataukah ini hanyalah sebuah <i>great wall </i>yang memisahkanku dengan mimpiku di seberang. Begitu tinggi, begitu tebal tembok itu! Tapi juga transparan, hingga aku dapat melihat mimpiku di seberang yang lain.<br />
Ingin kudobrak! Kurusak! Tapi begitu tebalnya hingga tanganku berdarah penuh luka. Kupukul, kutendang, kudorong! Sia-sia belaka...<br />
<br />
Ingin kulewati! Kulompati! Tapi begitu tingginya, hingga lompatanku yang tingginya tak seberapa, jauh jangkauanku dari puncaknya. Kudaki! Kunaiki! Selalu melorot... Merosot...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div>"Tembok apa ini? Apakah aku harus berhenti di sini? Kembali menyerah.. Pasrah..<br />
<br />
Mimpiku.. Pernah sekali kurelakan dengan menyakitkan."<br />
...<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
"Tidak kali ini. Bermimpi berarti berani. Selalu ada tembok yang menghalangi. Bahkan bukan hanya sekali.<br />
Bermimpi berarti berjuang.. Setinggi apapun harus mendaki. Seberapapun jatuh berkali-kali. Berdarah, penuh luka, itu hal biasa..."<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
...<br />
Jadi, inikah cita-cita?<br />
Disinilah kualitas serta jati diri ditempa...Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-59139056232830375372010-05-20T15:48:00.001+07:002010-05-20T15:51:34.438+07:00Hikayat Ibadah Terberat<span class="trigger"></span> <br />
<div class="w642 mt15"><div class="pl15 pr15"><div class="fsize12 lh20"><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:trFauXR1-XJgDM::pondokhati.files.wordpress.com/2009/03/shollu.jpg&t=1&h=245&w=206&usg=__5tyRH9CzW-HBAsZAGmL2GGjPuFs=" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:trFauXR1-XJgDM::pondokhati.files.wordpress.com/2009/03/shollu.jpg&t=1&h=245&w=206&usg=__5tyRH9CzW-HBAsZAGmL2GGjPuFs=" /></a></div><br />
<br />
Aku…<br />
<br />
Seorang pria biasa. Wajar. Seperti pria-pria beruntung lainnya. Berkeluarga, memiliki anak, memiliki ekonomi mapan. Aku memiliki segala hal yang menjadi idaman para pria normal di seluruh dunia.<br />
<br />
Kehidupan keluargaku juga biasa. Wajar. Normal. Dengan istriku, tak pernah ada percekcokan berkelanjutan. Tak pernah ada perang urat syaraf yang meletup menjadi perang deklamasi. Anakku pun tumbuh sehat dan normal seperti anak-anak lainnya. Berpendidikan cukup, uang saku cukup, kasih sayang lebih dari cukup.<br />
<br />
Bisa dikatakan, kehidupanku sempurna.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Tapi itu kehidupan dunia. Ketika kupahami dalam sebuah perenunganku, dunia tetaplah dunia. Dia hanya persinggahan, bukan tujuan. Dalam perenungan itu pula kusadari, bahwa aku telah sering mengabaikan ibadah rohani.<br />
<br />
Kusekolahkan anakku ke TPQ. Kusuruh mereka rajin sholat dan mengaji. Sementara aku, mengabaikan dan meninggalkannya berkali-kali. Padahal, mereka menjadikanku sebagai teladan dan tolok ukur pasti.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Ketika itu pulalah aku tersadar… “Inilah titik balikku”.<br />
<a name='more'></a><br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Adalah seorang kawanku, rekan sekerjaku, yang kuanggap memiliki kedewasaan rohani. Kuajak dia berbicara dari hati ke hati.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
“Aku ingin memperbaiki ibadahku kawan. Tapi aku tak ingin ibadahku nanti bukan hanya sebatas ritualitas belaka, tapi memiliki esensi serta kaya akan arti.”<br />
<br />
“Kalau begitu, cuma satu pesanku. Kau akan mencapai titik itu, ketika kau mampu melakukan ibadah yang paling berat”.<br />
<br />
“Ibadah yang paling berat? Apa itu kawan?”<br />
<br />
“Temukanlah dulu olehmu. Cari dengan akalmu. Jalani dengan tubuhmu. Jika telah kautemukan, beritahu aku.”<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Percakapan berakhir. Dia meninggalkanku yang termangu. Berfikir, apa kiranya maksud dari ucapannya? Seperti apakah ibadah terberat itu?<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kuputuskan untuk menjawabnya dengan pengalamanku.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kumulai risetku dengan Sholat Dhuha. Di tengah kesibukanku, kucoba untuk meluangkan waktu.<br />
<br />
Berat… Sungguh berat.<br />
<br />
Yang bahkan untuk makan pun aku sering tak sempat, kini aku harus mengendap-endap berwudlu dan sholat.<br />
Setelah beberapa kali menjalani, aku berujar dalam hati, “Mungkin ini ibadah terberat”<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Belakangan baru kupahami, se-tak sempat apapun aku sekarang ini, nanti, aku bahkan tak punya waktu lagi.<br />
…<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Keesokan harinya, aku mengalihkan risetku. Kali ini Qiyamul Lail-lah bahan uji praktik berikutnya. Di tengah kantuk dan akumulasi rasa lelahku, kucoba bangkit dari tidurku.<br />
<br />
Berat… Sungguh berat.<br />
<br />
Yang bahkan aku sering tak tidur karena lembur. Dan siang hari, masih diakumulasi dengan forsiran pekerjaan yang tak henti. Tidur, bagiku memiliki jatah waktu yang amat mini.<br />
<br />
Kini, aku harus bangkit di malam hari. Menyingkirkan setan di pelupuk mata yang membebani. Menindih tubuhku dari kepala sampai kaki. Menyingkap selimut yang hangat, bersentuhan dengan air yang dingin dan menyengat.<br />
<br />
Berat… Sungguh berat.<br />
<br />
Setelah beberapa kali menjalani, aku berujar dalam hati, “Mungkin ini ibadah terberat”<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Belakangan baru kupahami, se-ingin apapun aku tidur dan menutup mataku sekarang ini, nanti, aku toh akan tidur dan menutup mata untuk selamanya. (Hingga waktu dibangkitkan kembali).<br />
…<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kutemui kawanku lagi. Kuceritakan pengalamanku. Hasil dari risetku. Serta hipotesaku.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
…<br />
“Bukan… Bukan itu kawan. Yang kau jalani itu mungkin berat. Tapi bukan yang terberat.”<br />
“Gila! Apa pula yang lebih berat dari mereka?”<br />
“Istiqomah kawan…”<br />
…<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
“Kau bisa, semua orang bisa, menjadi muslim yang begitu tekun dalam sehari, dua hari, tiga hari, bahkan berhari-hari. Tapi sedikit sekali dari mereka bertahan dengan performa keimanannya setiap hari.<br />
<br />
Istiqomah bukanlah sekedar amalan kawan. Itu adalah manifestasi hidup. Konsistensi, dedikasi, loyalitas, totalitas, sampai dengan ikhlas, semua terimplementasi di sana.<br />
<br />
Jangan cuma menjadi muslim musiman. Mendadak ‘alim’ hanya saat ramadhan atau ketika mendapat hidayah spontan. Taubat dan ingat akhirat, hanya mengendap seperti temp folder yang hilang ketika <i>restart</i>.<br />
<br />
Camkan! Rasukkan kawan! Berat memang… karena inilah ibadah terberat.<br />
<br />
Ibadah kawan, bukan hanya amalan. Hakikat darinya adalah implikasi dalam perilaku kehidupan.”<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Masih terekam jelas di ingatanku, kata-katanya, ketika berlalu dan meninggalkanku…<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><blockquote><i>Ucapkanlah: “Aku beriman kepada Allah”, kemudian beristiqomahlah dalam ucapan itu” </i>(HR. Muslim)</blockquote></div></div></div>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-67924920992818856092010-05-20T09:28:00.000+07:002010-05-20T09:28:46.342+07:00Ada Kail di 20 Mei 2010<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://i154.photobucket.com/albums/s260/agkarim/Kail.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="280" src="http://i154.photobucket.com/albums/s260/agkarim/Kail.jpg" width="320" /></a></div><br />
Ada kail di 20 Mei 2010.<br />
...<br />
<br />
***<br />
<br />
Ada kail, tentu ada umpan. Ada umpan, tentu ada yang dipancing. Ada yang dipancing, tentu ada yang memancing. Ada yang memancing, tentu ada maksud dan tujuan, mengapa ia memancing?<br />
<a name='more'></a><br />
...<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Berawal dari sebuah jejaring sosial yang kemudian menjadi fenomena. Menjamur dimana-mana. Dari mulai balita sampai orang tua menjadi penggilanya. Tak kurang, merata dari kota sampai pelosok desa. Facebook namanya.<br />
<br />
<br />
Siapa yang tak kenal jejaring sosial ini? Sebuah situs yang bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa membuat karyawan berkurang produktivitas kerjanya, membuat rumah tangga retak dan tak lagi saling percaya, memicu dua pihak menjadi berselisih karenanya. <br />
<br />
Tapi di sisi lain, dapat meningkatkan dan memperluas market share serta relasi, mempererat ukhuwah juga menjalin tali silaturahmi.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Sebuah event diselenggarakan pada 20 Mei 2010. Tak sedikit pula yang menghadirinya. Terakhir kulihat 12.000 orang mengkonfirmasi will attending. Event tersebut, sangat berbau provokasi. Tak perlulah kusebut nama event selengkapnya. Cukup tengok saja, karena telah santer beritanya. <br />
<br />
<br />
Sebagai informasi, ini bukan yang pertama kali. Hal serupa pernah terjadi sebelumnya. Hanya subjeknya saja yang berbeda. Sama seperti (euforia) sekarang. Boikot diteriakkan dimana-mana. <br />
<br />
<br />
Boikot dan teriakan ganyang tersebut, apa walhasil? Seperti telah kuduga sebelumnya. Tak ada tindakan apa-apa dari pihak admin. Yang kuingat hanyalah ‘patriotisme’ cerdas sekelompok hacker Perancis yang kemudian mengakhiri fitnah provokatif tersebut.<br />
...<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Yang pasti, seperti telah kusebutkan di awal. Terdapat korelasi antara kail, umpan, ikan, dan pemancing.<br />
Kita (muslim wa muslimah) diibaratkan ikan dalam kolam yang sedang dipancing. Tentu saja dengan harapan umpan tersebut, dimakan (apalagi mentah-mentah).<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Terdapat tiga jenis ikan. Yang pertama adalah ikan yang tertarik oleh umpan karena memiliki tujuan tersembunyi. Umpan itu, diibaratkannya sebagai popularitas. Penekanan identitas. Kesemuanya, tak lebih hanya sekedar riya.<br />
<br />
<br />
Yang kedua adalah ikan yang tertarik oleh umpan karena keluguan. Umpan itu, dihampirinya hanya karena ia terpanggil oleh kebutuhan. Tersulut, murni karena patriotisme nurani. Kesemuanya, tak beroleh apa-apa.<br />
<br />
<br />
Yang ketiga adalah ikan yang sama sekali tak tertarik oleh umpan. Ia tak acuh karena berpaham bahwa ‘tak ada kemudahan meskipun untuk mendapat makanan’. Karena itulah, ia terus bergerak tak hirau dengan umpan-umpan di sekitarnya. <br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Berhati-hatilah. Umpan itu, bisa berbagai rupa. Dan yang pasti, maksud dan tujuannya sangatlah berbahaya.<br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Termasuk ikan yang manakah Anda?<br />
<br />
Yang pasti, aku bahkan tak sudi disamakan dengan ikan. <br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
Rasulullah saw tak menghendaki kita, menjadi pengikut yang haus akan amarah, dan gatal akan serapah. Sebaliknya, sebagai ummat yang memiliki akhlakul hasanah serta berpegang teguh pada Alquran dan sunnah. <br />
<br />
<br />
***<br />
<br />
<br />
<blockquote><em>Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu." </em>(Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.)<br />
</blockquote><br />
***<br />
<br />
<blockquote><em>Sun manembah kanthi obah jumangkah/ tandha sumarah/ dudu apal donga lan pinter cadhong tadhah.</em></blockquote><blockquote>(Aku menyembah dengan gerak dan langkah/tanda pasrah/bukan hafal doa dan pintar menadahkan tangan)</blockquote>Nuwun...<br />
Widhi SatyaWidhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-55693691861638650502010-05-14T10:09:00.000+07:002010-05-14T10:09:05.801+07:00Gurun Kehidupan [3] : Bersahabat dengan Pasir<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:exqytVRZqYc1cM::projects.math.arizona.edu/%7Esp2007/dunesPic.jpg&t=1&h=194&w=259&usg=__ZR7sqQnIG-F_077oOCKC3uGsJ6U=" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:exqytVRZqYc1cM::projects.math.arizona.edu/%7Esp2007/dunesPic.jpg&t=1&h=194&w=259&usg=__ZR7sqQnIG-F_077oOCKC3uGsJ6U=" /></a></div><span class="fullpost"> </span><br />
Kembali melanjutkan perjalanan. Masih berlatar belakang dan berlokasi di gurun yang sama. Tempat-tempat yang dikunjunginya, antara lain : pembuat telur pasir, pembuat patung pasir, sawah dari pasir.<br />
<br />
Tujuan kedua adalah pembuat telur pasir. <i>‘Tsuna Tama</i>' namanya. Didemonstrasikan bahwa telur diletakkan di sebuah kotak, dikubur dengan pasir, kemudian dimasukkan ke dalam pemanggang. Setelah matang, kemudian dibelah, dan diperlihatkan perbedaan telur yang dipanggang dengan pasir dan telur yang hanya direbus dengan cara biasa.<br />
<br />
Telur pasir, diproduksi massal sebagai <i>home industry. </i>Beberapa karyawan juga dipekerjakan di sana. Toko-toko di sekitar, menjadi tempat pemasaran. Sebagai souvenir, maupun untuk dikonsumsi, telur pasir tetap menjadi pilihan yang menarik.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Bukan hanya telur pasir yang memanfaatkan pasir sebagai media. Ada juga kerupuk pasir sebagai produksi sampingan. Didemonstrasikan, sebuah pasir dididihkan, kemudian dimasukkanlah kerupuk-kerupuk ke dalamnya hingga matang.<br />
<div align="center">***</div><br />
Telur pasir dan kerupuk pasir. Adakah yang berminat mengadaptasinya?<br />
<div align="center">***</div><br />
Tujuan berikutnya adalah pembuat patung pasir. Petualang kita bercakap-cakap dengan seorang pematung yang membuat patung dengan pasir sebagai medianya. Dijelaskan pula, bahwa agar pasir mengeras dan mudah untuk dibentuk, dia menambahkan air ke dalam pasir.<br />
<br />
Pematung itu juga menceritakan mimpinya, bahwa ia ingin salah satu karyanya, masuk ke museum patung pasir.<br />
<br />
Ketika ditampilkan tentang museum patung pasir, aku benar-benar ternganga. Karya-karyanya luar biasa. Tiap detilnya, menyiratkan ketekunan dan ketelitian tingkat tinggi. Benar-benar karya seni bernilai tinggi.<br />
<div align="center">***</div><br />
Tujuan berikutnya adalah sebuah sawah di tengah gurun. Ya, sawah / ladang di tengah gurun. Lengkap dengan tanamannya.<br />
<br />
Belakangan diketahui, bahwa tanaman yang dapat tumbuh di pasir yang kemudian ditanam massal dalam sebuah ladang, bernama <i>Rokkya. </i>Aku tak tahu bagaimana menjelaskan tumbuhan ini, karena tak dijelaskan apa nama latinnya. Yang jelas, ia bisa tumbuh di pasir. Bentuknya seperti daun bawang. <i>Rokkya </i>ini, selain dibuat sebagai lauk, juga dapat dikonsumsi langsung seperti memakan buah, hanya dengan dicuci saja.<br />
<div align="center">***</div><br />
"<i>It's amazing how people can survive here. Not only just survive, it's like they having a friend with the sand. They make use of sand as a utility to live. They use it to socialize, they use it to photography, they use it to enterpreneur,they use it to art, even they use it to farm. Desert, in our image is a place where almost no living creature upon it, they turn it around 180 degree. I'm so moved and amazed with they effort. See you next week" </i>petualang menutup acara dan memberikan salam perpisahan.<br />
<br />
Terjemahan :<br />
<br />
"Mengagumkan, melihat bagaimana mereka dapat bertahan di gurun ini. Bukan hanya bertahan hidup, mereka seolah menjadikan pasir sebagai sahabat mereka. Mereka menggunakan dan memanfaatkan pasir dengan sebaik-baiknya. Mereka memanfaatkannya untuk bersosialisasi, fotografi, wirausaha, seni, bahkan mereka memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Gurun pasir, dalam bayangan kita adalah sebuah tempat yang gersang dan sangat jauh dari kesan ‘kehidupan'. Tapi dengan kesungguhan dan usaha mereka, mereka tak hanya mampu bertahan hidup, bahkan telah bersahabat dengan pasir. Sampai jumpa minggu depan"<br />
<div align="center">***</div><br />
Semoga kisah di atas dapat diambil hikmah dan dijadikan pelajaran. Bahwa selalu ada harapan. Yang harus dirubah hanyalah sudut pandang, diikuti dengan ketekunan. Seperti sebuah ungkapan "perbedaan orang pesimis dan orang optimis adalah, ketika dihadapkan dengan kegelapan, orang pesimis tak dapat melihat apa-apa, sedangkan orang optimis dapat melihat cahaya, meskipun sangat kecil."<br />
<br />
Nuwun..<br />
<br />
Widhi SatyaWidhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-9844513859598338432010-05-14T10:05:00.000+07:002010-05-14T10:05:33.712+07:00Gurun Kehidupan [2] : Bukan Hanya Batu di Tepi Jalan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.geeksquad.com/intelligence/wp-content/uploads/2010/03/road.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="http://www.geeksquad.com/intelligence/wp-content/uploads/2010/03/road.jpg" width="200" /></a></div><br />
<span class="fullpost"> </span>Lain ladang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya...<br />
<br />
Begitu pepatah mengatakan. Begitupun apa yang kusaksikan. Lain negaraku, negara kita, Indonesia tercinta, lain pula di Jepang sana. Pikiran dan kesan serupa, lenyap, sirna, tak sampai acara memasuki menit kelima.<br />
<br />
Episode petualangan yang kusaksikan, berlatar belakang di sebuah gurun pasir.<br />
<br />
"<i>I can't believe such a place exist in this country. You see? We see nothing but sand here</i>", begitu kata petualang, sekaligus pembawa acara yang tak kuingat siapa namanya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Aku pun tak habis pikir, bagaimana mungkin? Negara yang berlokasi secara geografis jauh di sebelah utara khatulistiwa. Daerah beriklim sub tropis. Yang selain karakter empat musimnya, sangat jauh dari kesan ‘iklim panas' dan sulit membayangkan, bahwa ada gurun disana.<br />
<br />
Tapi itu belum seberapa, keterkejutanku baru saja dimulai. Tak berapa lamanya, sampailah Si Petualang ini di sebuah desa. Bayangkan, desa di sebuah gurun! Dimana tak ada apa-apa di sekelilingnya selain pasir! Jika saja ini Arabia, aku mungkin takkan sebegitu hebohnya, tapi ini Jepang! Negara dengan tingkat pertumbuhan industri jauh melebihi negara-negara lain di Asia.<br />
<br />
Menjadikan gurun sebagai pemukiman, sebagai pilihan, dan mengabaikan kehidupan industrial penuh dengan <i>gadget</i> elektronis yang memudahkan kegiatan. Benar-benar pilihan yang bagi kebanyakan orang tak masuk akal.<br />
<br />
Desa ini (aku juga tak ingat namanya) akhirnya, seperti tempat-tempat unik lainnya, juga menjadi tujuan kujungan turis dan wisatawan.<br />
<div align="center">***</div><br />
Seorang gadis penduduk setempat, berseragam sekolah, mendekati petualang kita. "<i>What? You wanna take my picture? Go ahead</i>". Diizinkan, Si Gadis pun segera mengambil gambar petualang kita yang telah bersiap dengan posenya.<br />
<br />
"<i>Arigatou Gozaimasu</i>", Si Gadis Berterima kasih sambil membungkukkan badan, khas orang Jepang.<br />
<br />
"<i>Dou Itashimashite</i> (<i>you're welcome</i> - Eng; sama-sama -Ind)", begitu jawab petualang juga sambil membungkukkan badan.<br />
<br />
"<i>Are you a photography school's student?</i>" petualang kemudian bertanya, dalam dua bahasa. Petualang kita, seorang Kaukasia (orang Indonesia menyebutnya <i>bule</i>), dia menguasai bahasa Jepang.<br />
<br />
Si Gadis menjawab dalam bahasa Jepang. Dari translate yang tertulis dibawahnya, kubaca "<i>Yes, i study at photography school, and i usually come around here, to take a picture and socialize with a tourist</i>". Dia berkata demikian, sambil menggerak-gerakkan tangannya.<br />
<br />
"<i>Hey, i can understand your language, so why you moved your hands? Is it a language?</i>" petualang bertanya.<br />
<br />
"<i>Yes, i deaf. I can't hear. So beside i talk with my mouth, i use my hands to communicate either.</i>" Si Gadis menjelaskan masih sambil menggerakkan tangannya.<br />
<br />
"<i>Then how can you understand me speaking? Are you reading my lips?</i>" petualang kembali bertanya lagi, juga dengan dua bahasa.<br />
<br />
"<i>Some kind of that</i>" Si Gadis menjawab, tak ketinggalan gerakan tangannya juga.<br />
<br />
Dari sini, aku mulai ternganga. Bagaimana seorang gadis tuli, dapat berbicara dengan normal, layaknya orang biasa. Bahkan lebih dari itu, dapat berkomunikasi dengan wajar, dengan membaca bibir lawan bicaranya.<br />
<div align="center">***</div><br />
Dari literatur yang pernah kubaca, seorang yang terlahir tuli, sebagian besar (hampir semua), juga menjadi bisu. Itu karena mereka tak dapat menyerap informasi bahasa yang sejak lahir diberikan oleh orang tua, maupun lingkungan sekitar mereka.<br />
<div align="center">***</div><br />
Layar kemudian beralih tampilannya. Menjadi seperti sebuah thriller, yang menampilkan <i>preview</i> mereka. Siswa-siswa yang terlahir memiliki keterbatasan kemampuan pendengaran (aku pernah membaca dalam sebuah makalah, untuk mengganti kata ‘penyandang cacat' dengan kata-kata lain selain ‘cacat', karena konotasinya yang negatif dan aproduktif), mereka berjuang melawan keterbatasan dengan keuletan. Mereka berkarya, dengan fotografi.<br />
<br />
Dari hasil karya fotografi mereka yang ikut di-<i>preview-</i>kan pula, dapat kulihat sentuhan jiwa didalamnya.<br />
<br />
Dijelaskan pula oleh gurunya (yang juga tuli), bahwa bersosialisasi dengan turis, adalah salah satu upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka (para siswa tunarungu -pen).<br />
<br />
Mengamini gurunya, beberapa siswa kemudian membuka suara, bahwa meski ragu dan kikuk pada awalnya, tapi akhirnya mereka mendapatkan rasa percaya diri ketika telah dapat membuka percakapan dan bertukar sapa dengan para turis.<br />
<div align="center">***</div><br />
"Subhanallah...."<br />
<br />
Tanpa terasa, kalimat tasbih terucap dari bibirku. Bagaimana sebuah keterbatasan fisik, sama sekali tak membatasi semangat. Bukan semangat untuk menjadi ‘normal', tapi semangat untuk lebih berani menjadi diri mereka sendiri, dengan cara mereka sendiri.<br />
<br />
Sebuah semangat untuk berani menunjukkan eksistensi. Bahwa, "aku ada, aku telah tercipta, maka kehadiranku di dunia, takkan kubuat sia-sia."<br />
<br />
Terlihat sekali dalam semangat mereka terdapat sebuah manifestasi: "Aku dapat hidup mandiri, dengan caraku sendiri. Tanpa perlu bergantung, apalagi menjadi beban orang lain."<br />
<div align="center">***</div><br />
Jika mereka yang memiliki keterbatasan fisik saja, memiliki semangat hidup demikian hebatnya, masihkah kita lupa akan karunia Sang Kuasa?<br />
<br />
Masihkah kita enggan bersyukur? Syukur yang kemudian diimplementasikan dalam aplikasi tindakan sehari-hari, berupa karya, serta bermanfaat bagi sekitarnya...<br />
<br />
Masihkah kita ingkar? Dengan hidup bermalas-malasan serta sering menyalahkan keadaan. Anti dengan kesulitan serta lemah terhadap cobaan?<br />
<br />
Ingkar bahwa dibalik kesulitan, setelahnya pasti ada kemudahan. Yang secara otomatis mengangkat kita pada derajat kemuliaan.<br />
<br />
Ingkar bahwa dibalik cobaan terdapat kenikmatan. Terdapat angin musim gugur yang meruntuhkan daun-daun kekhilafan.<br />
<br />
Masihkah kita zalim? Dengan melihat buku hanya dari sampulnya saja. Melihat manusia hanya dari bajunya saja. Melihat keterampilan hanya dari kondisi fisiknya saja. Tubuh memiliki ruh. Ruh yang sama. Nyawa yang sama. Keinginan yang sama. Kehendak yang sama. Cita-cita yang sama. Kebutuhan yang sama. Hati yang sama.<br />
<br />
Masihkah kita zalim degan bersikap risih, jijik, serta tindakan-tindakan yang berusaha menepikan keberadaan mereka.<br />
<br />
Zalim karena enggan menerima mereka sebagai bagian dari sosial dengan tangan terbuka.<br />
<br />
Kezaliman itu, takkan beroleh apa-apa selain luka di hati mereka, serta perasaan depresi dan rendah diri, karena dianggap "batu di tepi jalan. Ada dan tiadanya, tak diacuhkan, tak diabaikan"<br />
<br />
Wallahua'lam bisshowab...<br />
<div align="center">***</div><br />
Jika melihat mereka dan semangat hidup mereka. Aku geli. Pada idiom "patah hati lalu bunuh diri".<br />
<br />
<div style="text-align: center;">*** </div><br />
<i><b>Bersambung...</b></i>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-36424421495081759842010-05-14T09:57:00.001+07:002010-05-14T09:57:55.969+07:00Gurun Kehidupan [1] : Petualang<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:-6xNPlCxAbjmmM::images.swastikaayu.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Sdl1bAoKCDIAAF7EcEw1/SangPetualang1.JPG%3Fet%3DWiYPCiDxmxhQy0qp1cBmww%26nmid%3D0&t=1&h=188&w=224&usg=__XQ_dzwKoaoKyE5L9OU2F7VJBQ6M=" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:-6xNPlCxAbjmmM::images.swastikaayu.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/Sdl1bAoKCDIAAF7EcEw1/SangPetualang1.JPG%3Fet%3DWiYPCiDxmxhQy0qp1cBmww%26nmid%3D0&t=1&h=188&w=224&usg=__XQ_dzwKoaoKyE5L9OU2F7VJBQ6M=" /></a></div><br />
<span class="fullpost"> </span><br />
20:00 BBWI. Seperempat jam sebelumnya, aku baru saja tiba di rumah. Kehujanan, kedinginan, kelaparan. Melewati jalanan yang gelap, pekat tanpa satupun penerangan selain kilat. Malam yang naas bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku. "Aku makhluk bernyawa, yang takkan pernah bisa didikte oleh rutinitas, lalu kemudian menyalahkan mereka sebagai monotonitas". Tantangan, liku, rintangan, besar, ataupun kecil, bagiku seperti sebuah ‘iklan' yang meruntuhkan kebosanan.<br />
<br />
<blockquote>"Ini baru namanya hidup".</blockquote><div align="center">***</div><br />
20:00 BBWI. Ada apa dengan waktu itu? Ada apa dengan jam itu? Apa yang terjadi ketika jarum pendek menunjukkan angka delapan, tepat ketika jarum panjang menunjuk angka dua belas?<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tak ada yang istimewa dengan penunjuk waktu. Yang menarik adalah apa yang membuatku tertarik dan kusaksikan di layar kaca tepat pada jam itu.<br />
<div align="center">***</div><br />
Sebelumnya, aku ingin langsung tidur saja. Rasa lelah telah menarik-narikku, seperti anak kecil, merengek-rengek minta ditidurkan. Minta diistirahatkan.<br />
<br />
Tapi tak <i>afdhal</i> rasanya, jika tak menemani, dan sekedar berbicara dengan bapakku. Biarlah, kutemani Beliau menghabiskan teh panasnya, meskipun hanya sebentar.<br />
<div align="center">***</div><br />
Mataku tertuju pada layar televisiku. Televisi yang sering kucaci-maki itu. Ketika melihat sesuatu yang tak mengenakkan hatiku, pun ketika melihat hal-hal yang tak bermutu. Ah... Televisiku, malangnya nasibmu...<br />
<br />
Perhatianku tertuju pada acara yang sedang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Bukan... Bukan di Indonesia. Melainkan di Jepang sana. NHK World namanya. Entah apa nama acaranya, aku lupa. Rasa lelah telah mematikan separuh kesadaran dan ingatanku. Tapi, dengan separuh perhatian pun, aku masih bisa mencerna dan dibuat ternganga.<br />
<br />
Acara yang kusaksikan, jika di Indonesia mungkin namanya "Jejak Petualang" atau acara-acara seragam lainnya (aku tak bilang plagiat lho ya?). Awalnya, akupun berpikiran sama. Ah, paling-paling cuma tontonan orang jalan-jalan, ke tempat-tempat rekreasi, makan-makan, belanja. Berpikir mereka dapat setidaknya, mewujudkan mimpi pemirsa yang tak mampu kesana.<br />
<br />
Atapun tontonan orang bertualang, ke tempat-tempat terbuka, "berkawan dengan alam" katanya, makan-makanan menjijikkan (baca: haram), ataupun meneliti penduduk (baca: suku) asli yang sebagus apapun mereka kiaskan dalam bungkus acara mereka, takkan menutupi bahwa mereka sedang "mengeksploitasi keanehan orang terbelakang".<br />
<br />
Bukannya aku tak suka, bukannya aku alergi, apalagi anti. Aku tetap menikmati. Paling tidak, untuk orang sepertiku, orang yang berkantung cekak (baca: miskin), aku hanya bisa mengatakan "Toh mereka yang keluar duit, kenapa aku harus ribut?"<br />
<br />
Paling-paling aku cuma bisa iri, melihat orang membelanjakan (aku tak bilang menghamburkan lho ya?) uang berjuta-juta, memancing di lautan lepas terbuka, memperoleh ikan yang takkan habis 5 kali makan dilepaskan begitu saja.<br />
<br />
Bandingkan denganku, memancing di pinggiran empang, memperoleh ikan yang habis dalam satu gigitan. Besar sedikit saja hasil tangkapan, girang bukan kepalang.<br />
<br />
Ingin kubilang, "Cobalah pak, cuma modal yang tak sampai sepuluh ribu, kalau perlu buat dari bambu. Sandal jepit, kalau perlu tak usah bersandal, lebih menyehatkan dari sandal kesehatan yang harganya tak masuk akal. Celana pendek, kaos robek, menyusuri pinggiran empang sawah. Rasakan sensainya pak! Pasti tak kalah!"<br />
<br />
"Lalu, kalau saya mau mencoba menjadi Anda?" jika kemudian dia bertanya.<br />
<br />
"Ya.... Gantian saya yang mencoba menjadi Anda!?"<br />
<div align="center">***</div><br />
Ah... Tinggalkan acara-acara yang (buatku, <i>wabil khususan</i>, cuma buatku) tak ‘membumi' dan membuatku membanjirkan air liur saja. Aku ingin, tapi melihat kondisi kantung, dompet, maupun rekening, rasanya tak mungkin. "Melihat Anda di layar kaca pak, bukannya melipur lara, sebaliknya, menambah ingin saja."<br />
<div align="center">***</div><div style="text-align: left;"><i><b>bersambung....</b></i> </div>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-88879419938073714222010-05-11T18:03:00.001+07:002010-05-20T15:57:33.197+07:00Provokasi Seorang Maling<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Sumber Gambar : Mekarina.wordpress.com" class="size-medium wp-image-138541" height="300" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/abstrak-07-282x300.png" title="abstrak-07" width="282" /></div><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><br />
<br />
<br />
Namaku maling bin maling. Bapakku maling. Ibuku juga maling. Profesi kami sekeluarga maling.<br />
<br />
Organisasi? Sindikat? Mafia? Atau apapun kalian menyebut kami. Toh, kami tetap maling. Seperti maling-maling yang lainnya, pekerjaan kami mencuri.<br />
<br />
Mencuri telah menjadi akar budaya, telah mendarah daging, telah merasuk ke sumsum, menjadi penyakit genetis tak terputuskan, tak tersembuhkan.<br />
<br />
Mencuri memang telah menjadi penyakit akut kami. Tapi, kami tak ingin sendiri. Beruntunglah, karena mencuri bersifat ‘familiar' hingga ia mudah untuk ditularkan.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Kami sebarkan. Kami tularkan. Kami kontaminasikan semua. Mereka yang masih bersih suci, belum terjamah, belum tersentuh. Lugu, polos. Maka, kami ajarkan mereka nikmatnya mencuri, dan bangganya menjadi maling.<br />
<div align="center">***</div><br />
Jangan salah, kami memang maling. Tapi kami punya etika. Kami maling beradab. Kami maling modern. Kami maling yang tetap mengindahkan norma-norma dan berpegang pada regulasi,.<br />
<br />
Kami bukan maling yang mau repot, meluangkan waktu, sekedar untuk mencuri uang, mencuri asset negara, mencuri kendaraan bermotor, mencuri perabotan. Apalagi, maling-maling kacangan seperti maling ayam dan maling jemuran.<br />
<br />
Bagi kami, mereka semua cuma sampah. Kumpulan orang-orang bodoh, karena tak memperhitungkan segala sesuatunya. Untung yang mereka terima (kalau memang bisa dibilang untung), tak sebanding dengan risiko pekerjaan mereka.<br />
<br />
Ingin kuteriakkan, "Pakailah ilmu ekonomi bung! Hitung untung rugi! Kau mungkin dapat untung. Tapi tengoklah risikonya bung! Reputasimu bisa buntung!"<br />
<div align="center">***</div><br />
Ingin kuteriakkan itu pada mereka, agar mereka beralih profesi saja. Profesi lebih mulia. Sayang, mereka terlanjur nyaman dengan profesi rutinan mereka. Telinga mereka tak lagi menganga. Mata mereka terlanjur buta.<br />
<br />
Ah... Biarlah.. Aku mengajak orang-orang yang mau saja. Pun jika mereka ingin beralih menjadi maling sepertiku, lowongan selalu ada, pintu selalu terbuka.<br />
<div align="center">***</div><br />
Sebagai proposal, agar kau mau menjadi pengikutku, menjadi maling sepertiku. Karena pekerjaanku, seperti Multi Level Marketing sistemnya. Makin besar, makin kuat, makin banyak profitnya. Semua berbanding lurus, jika makin banyak pengikutnya.<br />
<div align="center">***</div><br />
Pekerjaanku. Maling. Menucuri. Tapi, tak ada siapapun yang rugi. Secara materi.<br />
<br />
Bahkan sebaliknya, pencuri maupun korban yang dicuri, sama-sama memperoleh untung. Ingat, sama-sama memperoleh untung. Bahkan tak terhitung.<br />
<br />
Ikutilah aku! Menjadi maling sepertiku. Mencuri sebagai pekerjaan sampingan, tapi keuntungannya tak terhitungkan....<br />
<div align="center">***</div><br />
Tahukah kau? Maling apakah aku? Maling yang menjadi lebih mulia, jika telah berhasil mencuri sesuatu? Yang sesuatu itu jika telah tercuri, si pemilik malah justru beroleh keuntungan yang begitu besar? Dari keuntungannya, akupun memperoleh keuntungan yang sama?<br />
<div align="center">***</div><br />
Maling apakah aku? Mencuri apa aku?<br />
<div align="center">***</div><br />
Aku maling kemuliaan. Dan aku, mencuri salam.<br />
<div align="center">***</div><br />
<blockquote><b><i>Assalamu'alaikum warahmatullah... wabarakaatuh.</i></b></blockquote><div align="center">***</div><br />
Ya, inilah aku. Maling profesiku. Mencuri pekerjaanku.<br />
<br />
Hati-hatilah jika bertemu denganku!<br />
<div align="center">***</div><br />
<blockquote><i>"Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seorang berpaling dan lainnya juga berpaing. <b>Yang paling baik di antara keduanya ialah memulai mengucapkan salam</b>."</i> (Muttafaq Alaihi)</blockquote><div align="center">***</div><br />
Mencuri salam, dan sekedar ingin menyapa...<br />
<br />
Wassalamu'alaikum Warahmatullah.. Wabarakaatuh...<br />
<br />
Nuwun...<br />
<br />
Widhi SatyaWidhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-73001736848079104842010-05-09T16:52:00.002+07:002010-05-20T15:58:39.877+07:00Anda Uang Mempunyai Nyawa...<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Indonetwork.web.id" class="size-medium wp-image-136980" height="200" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/797837_006-decorart100x125abstrak-236x300.jpg" width="157" /></div><br />
<div class="wp-caption aligncenter" id="attachment_136980" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; width: 246px;"></div><br />
<br />
“Bagus banget! Berapa duit ni bang?”<br />
…<br />
<br />
“Pak, aku pengen nglanjutin sekolah..”<br />
“Maaf ya nak, bapak tak punya uang…”<br />
…<br />
<br />
“Sekarang kamu ama dia?”<br />
“Iya mak. Setelah kuliahnya selesai, rencana dia mau nglamar saya”<br />
“Punya duit berapa dia berani nglamar kamu!”<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
…<br />
<br />
<br />
“Kau tak kuliah. Juga tak kerja.<br />
Lalu mau jadi apa?”<br />
“Saya lagi ngumpulin materi, referensi, relasi, buat buka usaha pak.”<br />
“Buka usaha? Modal darimana?”<br />
…<br />
<br />
“Pak.. Kasihan pak.. Dua hari belum makan.. Minta uang pak..”<br />
“Minta? Cari! Lo pikir duit boleh nemu! Kerja! Badan sehat gitu juga.”<br />
…<br />
<br />
“Jadi.. Kau ingin urusanmu lancar kan?”<br />
“Tentu saja bang..”<br />
“Kalau gitu, ada syaratnya.”<br />
“Syarat bang?”<br />
“Kau tahulah… Pelumas..”<br />
…<br />
<blockquote>Mau tau gak mafia di senayan.<br />
Kerjaannya tukang buat peraturan.<br />
Bikin UUD.<br />
Ujung-ujungnya Duit.<br />
[Slank - Gossip Jalanan]<br />
…</blockquote><div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Perkenalkan. Namaku uang. Juga dikenal dengan duit, <i>money</i>, <i>fulus</i>. Termasuk berbagai macam konotasi yang kesemuanya, pada intinya ‘memanggilku’.<br />
<br />
Bentukku sedang. Tak terlalu besar. Juga tak terlalu panjang.<br />
<br />
Karena aku memang diciptakan secara anatomis, cukup agar masuk dan muat di saku, dompet, dan tempat-tempat aman namun strategis.<br />
<br />
Kertas warna-warni, logam sebesar biji, adalah dua dariku dalam perwujudan rupa.<br />
<br />
Tak mudah ditiru, itulah salah satu ciri utamaku. Meskipun, pada kenyataannya, masih ada saja yang mencobanya.<br />
<br />
Memalsukanku, mencetak dan mengedarkanku hanyalah satu dari ratusan kemungkinan dari tindakan penyalahgunaanku.<br />
<br />
Aku yang palsu, aku yang telah ditiru, mungkin serupa wujudnya denganku. Tapi bisa dengan mudah dipergoki dengan alat bantu. Dan mereka -aku yang palsu- hanya bisa menipu orang yang tak teliti akan anatomiku.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Kau mungkin sering melihatku (aku yang asli). Ada yg sangat sering, ada juga yang jarang. Tapi dari semuanya, aku yakin tak satupun dari kalian yang tak menginginkaku. Tapi, sedikit sekali dari kalian yang membutuhkanku.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Menginginkan dan membutuhkan, adalah dua hal yang sangat jauh berbeda. Dua hal yang membedakan manusia beradab dan biadab. Susila dan asusila. Kikir dan dermawan. ‘fakir’ dan ‘hartawan’. Pandir dan budayawan. ‘kafir’ dan ‘agamawan’.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Ingin, seperti angin, tak pernah pasti, bertiup kesana kemari. Berhembus, ganas, karena ada panas.<br />
<br />
Ingin, seperti asin. Tak pernah cukup meskipun meminumnya sampai kembung, sampai kering.<br />
<br />
Ingin, ibarat zina. Takkan pernah puas ratusan tuna susila dihadapannya.<br />
<br />
Ingin, selalu berotasi. Tak pernah pasti karena tak punya titik destinasi.<br />
<br />
Ingin pulalah yang mendorong gayus, markus, serta para tikus.<br />
<br />
Ingin pulalah yang mendorong manusia berhura-hura, berfoya-foya, belanja sampai lupa, tersesat dalam hakikat bahagia yang fana.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
<b><i>Jika melihat mereka.. Rasanya… Aku ingin lenyap saja. </i></b><br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Lain ingin, lain lagi butuh.<br />
<br />
Butuh ibarat ruh. Ada, namun tak tersentuh. Adanya ia, melahirkan keringat dan peluh.<br />
<br />
Butuh ibarat nyawa. Mutlak eksistensinya. Adanya ia, melahirkan jasa dan karya.<br />
<br />
Butuh ibarat birahi kedewasaan. Berhenti ketika telah terlampiaskan.<br />
<br />
Butuh itu notasi pasti. Ia punya destinasi. Cukup, hanya jika telah terpenuhi.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
Karena butuh itu fitrah. Maka, aku didapat dari jalan yang fitrah, juga dibalanjakan ke hal-hal yang fitrah.<br />
<br />
Aku diperoleh dengan kerja keras dan susah payah. Dan setelahnya, aku disisihkan, sebagian, untuk sedekah. Alangkah barokah…<br />
<br />
Jika demikian, tak perlulah label “halal” dari MUI, karena aku sama sekali tak mengandung minyak babi.<br />
<div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
<blockquote><b><i>Jika melihat mereka, aku ingin selalu berada disampingnya.</i></b></blockquote><div align="center"><br />
</div><div align="center">***</div><br />
p.s.<br />
Andai uang punya nyawa, andai mereka bisa bicara. Begitulah mungkin pengakuannya.<br />
Jelas sudah siapa yang dipilihnya untuk selalu bersamanya.<br />
…<br />
Bisa juga diganti subyeknya. Bukan uang. Melainkan <b>bahagia</b>.<br />
<blockquote><b><i>Siapa yang dipilihnya menjadi pendampingnya?</i></b></blockquote>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-63745408225073593112010-05-09T14:53:00.000+07:002010-05-09T14:53:41.564+07:00Walimah : Antara Doa dan Puja<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBpiww6wZPSb2wzW6nTBtK4wERCc353PJTFP6KnbkZ85ezPIU_ERYXUBxPtws0o1M1NCl2JYiT_vx4oRucgGOJCcfcMktrF6sPPDxiATViZKRRFvzgTTQg4kYgxWuzPVjI-gabEwUl4V0/s1600/walimah5.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBpiww6wZPSb2wzW6nTBtK4wERCc353PJTFP6KnbkZ85ezPIU_ERYXUBxPtws0o1M1NCl2JYiT_vx4oRucgGOJCcfcMktrF6sPPDxiATViZKRRFvzgTTQg4kYgxWuzPVjI-gabEwUl4V0/s320/walimah5.jpg" width="213" /></a></div><br />
Hari Ahad. Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. Budhe mengajakku ke acara walimah pernikahan kerabatnya. Kerabat yang mana, tak perlulah kutanya. Yang perlu kulakukan hanyalah mengantar Budhe, sebagai perwujudan rasa hormat dan bakti serta ‘imbal jasa’ karena Beliau telah merawatku selama ini.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Sampai sudah di tujuan. Motor kuparkirkan. Seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya, “tempat yang akan kutuju adalah restoran megah”.<br />
<br />
Ada satu pemandangan yang menarik perhatianku karena menurutku, amat mencolok, kontras sekali dengan segala rupa yang ada di sekelilingnya. Ah… kurasa tak seorang pun menyadarinya.<br />
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><br />
<em>Sugeng Rawuh</em>… <br />
Mohon do’a restu…<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Begitulah kiranya yang sering sekali, amat sering, umum, wajib, dan sepertinya ada ‘undang-undang’ tak tertulis bahwa kalimat tersebut harus ada dan terpampang di setiap walimah (pesta perayaan, orang jawa menyebutnya <em>slametan</em>).<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><em>Slametan</em>. Berasal dari kata dasar <em>slamet. </em>Orang non-Jawa pun akan langsung tahu artinya, karena memang tak jauh berbeda. Ya, dalam bahasa Indonesia, artinya selamat. Sedangkan <em>slametan, </em>dalam bahasa Indonesia artinya (secara harfiah) selamatan.<br />
<br />
Terlepas dari nilai-nilai syari’at Islam dalam walimah (mulai dari sini kita sebut selamatan) akan kucoba definisikan apa itu selamatan.<br />
<br />
Selamatan merupakan tradisi, (yang sedikit banyak terinspirasi dari syari’at Islam) yang diawali oleh orang-orang tua, sesepuh, pendahulu, yang kemudian membudayakannya, dan menurunkannya kepada generas-generasi penerus (anak cucu).<br />
<br />
Tujuannya sendiri, tentu saja sebagai keselamatan, memohon do’a, supaya diberi kelancaran atas segala maksud, itikad, apa-apa yang diinginkan. Supaya tak ada hambatan berarti, tak terduga, serta di luar jangkauan kemampuan, yang merintangi perjalanan ke depannya.<br />
<br />
Akan tetapi, jika kulihat dari kebiasaan ‘mayoritas’ dan yang sering terjadi dalam masyarakat sekarang, ‘selamatan’ telah bergeser makna, fungsi, serta definisinya.<br />
<br />
Definisi ‘selamatan’ sekarang, adalah suatu upacara perayaan yang digelar dan dilangsungkan dengan mengundang orang banyak, yang biasanya adalah orang-orang ‘tertentu’ dari kerabat, maupun teman dekat.<br />
Yang aku tekankan di atas adalah upacara perayaan, dan mengundang orang-orang ‘tertentu’.<br />
<br />
<blockquote>“Kenapa?”</blockquote><br />
Orang Jawa bilang, <em>Blaka kemawon lah</em>… (terbuka saja lah -pen). Sering yang terpikir pertama kali ketika mengadakan walimah (pesta perayaan) adalah biaya.<br />
<br />
<blockquote>“Biaya untuk apa?”</blockquote><br />
Biaya untuk membeli gengsi, membeli muka, membeli senyum bangga, untuk kemudian dipertontonkan kepada tamu-tamu undangan yang telah melalui proses penyeleksian sebelumnya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Lalu, jika seperti itu, apa artinya selamatan? Apa hakikatnya? Apa maknanya? Apa implementasinya? Apa wujud nyatanya? Sumbangsih yang terasa secara langsung oleh masyarakat yang berinteraksi dengannya?<br />
Kurasa tak ada, selain foya-foya dan hura-hura semata… Memuliakan tamu katanya. Agaknya terdapat perbedaan yang cukup (baca : sangat) mencolok antara memuliakan dan ‘terlalu’ memuliakan.<br />
<br />
Gedung megah, makanan melimpah, pakaian mewah, senyum-senyum sumringah, semua serba wah! Tak ingatkah masih banyak saudara kita yang susah?<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Perayaan nikah, dengan segala yang berwujud mewah. Alangkah baiknya jika secukupnya saja. Sedangkan sisanya, akan jauh lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk sedekah.<br />
<br />
Sedekah, tentu saja, bukan kepada orang yang ‘sama-sama’ (atau bahkan lebih) mewah. Tetapi, mereka yang benar-benar membutuhkanlah yang berhak untuk menikmatinya.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote><em>“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.</em> <em>Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” </em>(Q.S. 17 : 26 - 27)</blockquote><br />
***<br />
<br />
Wisuda, toga, dan segala macam seremonial lainnya. Juga sebagian besar mewah, dan telah mengakar sangat kuat sebagai kultural yang tak memiliki makna apa-apa selain unjuk muka dan sebagai simbol bonafiditas belaka. Di banyak lembaga pendidikan negeri maupun swasta, tak sedikit uang yang dihamburkan untuknya.<br />
Alangkah lebih baiknya jika secukupnya saja, atau tak usah ada dan sekalian hilangkan saja.<br />
<br />
Bukankah akan jauh lebih bermanfaat jika uang yang di’sumbang’kan untuk seremonial wisuda, dialokasikan untuk modal usaha. Alternatif lainnya, juga bisa untuk bekerjasama, yang jika tercapai kesepakatan dapat digunakan untuk mendirikan Firma, atau lembaga usaha sejenisnya.<br />
<br />
Dengan begitu, akademisi bukan hanya menjadi ‘nominal’ penambah antrean pengangguran. Sebaliknya, menjadi solusi keilmuan dan ketenagakerjaan dengan menciptakan lapangan baru pekerjaan.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>Aku menanti suatu masa…<br />
Dimana “<em>Sugeng Rawuh” </em>tak hanya menjadi salam pembuka.<br />
Akan tetapi do’a..<br />
Do’a yang dipanjatkan, untuk tamu-tamu kehormatan.<br />
Bukan tamu-tamu yang dihormatkan.</blockquote><br />
<blockquote>Aku menanti suatu hari..<br />
Dimana pe-”mohon doa restu” benar-benar ingin diberi.<br />
Diberi do’a, bukan diberi puji.<br />
Do’a yang dipanjatkan, dari tamu-tamu yang <em>jumawa.</em><br />
Bukan tamu-tamu yang iri…</blockquote><br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Insya Allah, aku akan menjadi bagian dari masa, dan hari itu.<br />
Bagaimana dengan Anda?<br />
<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote><em>“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” </em>(Q.S. 25 : 67)</blockquote><div style="text-align: center;">***</div>Nuwun…<br />
Widhi SatyaWidhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-50988439870450670032010-05-08T09:59:00.000+07:002010-05-08T09:59:38.451+07:00Kenapa Harus Budi?<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRYaHsRkFlplxK7gNxp_GeyQJjxfnYI1_fSxYrD7FmD-Od4Mq8bh7xt6votRcLb1m5tyBrP94Uy1BHZ41KEZWyupE4NfvJudP5MRuU1fxTDEuvFghNNmlVpwCK5jVyj7cQ43TALtJsJ3g/s1600/galeriinggil+dot+web+dot+id.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="185" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRYaHsRkFlplxK7gNxp_GeyQJjxfnYI1_fSxYrD7FmD-Od4Mq8bh7xt6votRcLb1m5tyBrP94Uy1BHZ41KEZWyupE4NfvJudP5MRuU1fxTDEuvFghNNmlVpwCK5jVyj7cQ43TALtJsJ3g/s200/galeriinggil+dot+web+dot+id.jpg" width="200" /></a></div><span class="fullpost"> </span><br />
Ini Budi...<br />
<br />
<br />
Ini ibu Budi..<br />
<br />
Ini bapak Budi..<br />
<div align="center">***</div><br />
Bel berbunyi. Ani menutup buku. Dipandanginya sampul hijau dan kelabu, dengan tulisan kuning besar menyala, "Bahasa Indonesia Kelas 1".<br />
<br />
Setiap hari, setiap kali, setiap saat, ketika dibacanya, Ia selalu bertanya. "Kenapa harus Budi?".<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ia tak tahu, bahwa semua buku yang serupa, sekarang maupun dahulu, memang seperti itu.<br />
<div align="center">***</div><br />
Setiap hari, seitap kali, setiap saat, diulang-ulangnya kata-kata itu. Belajar membaca, kata Ibu guru. Dan, masih seperti kemarin, seperti kemarinnya lagi, dan kemarin sebelum kemarinnya lagi, seperti hari-hari biasanya, seperti kali biasanya,, seperti saat biasanya, Ani selalu bertanya-tanya: "Kenapa harus Budi?"<br />
<div align="center">***</div><br />
"Ayo Ani, maju ke depan kelas! Coba kau baca frasa yang biasa..." Ujar Ibu guru.<br />
<br />
"Jangan saya Bu guru...." Sanggah Ani.<br />
<br />
"Ayo baca!" Bentak Ibu guru.<br />
<br />
"Jangan saya Bu guru..." Lagi-lagi Ani menyanggah.<br />
<br />
"Kau tak bisa??? Kau ini kenapa? Setiap hari frasa itu kau baca??? Gila... Apa tak pernah kau camkan, lalu kau masukkan ke kepala!"<br />
<br />
"Maaf Bu guru..."<br />
<br />
"Pulang sana! Belajar! Tak sudi aku punya murid tak becus sepertimu! Kemari lagi kalau kau sudah bisa!"<br />
<br />
"Baik Bu guru..."<br />
<br />
Ani melangkah pulang.. Meninggalkan teman-temannya yang menganga tak percaya... Meninggalkan gurunya yang muntap murka...<br />
<div align="center">***</div><br />
Dalam perjalanannya, ia menerawang, kesadarannya mengambang, melayang...<br />
<br />
Dalam lamunannya, ia berbicara, monolog dengan dirinya, "Tak tahukah Bu guru? Aku tak membaca bukan karena aku tak bisa... Aku tak kuasa!"<br />
<div align="center">***</div><br />
Tanpa penyesalan, ia meneruskan langkah pulang... Satu persatu tapak ia jenjang... Menyusuri jalanan, kotor, bising oleh suara kendaraan bermotor.<br />
<br />
Kendaraan itu, satu persatu, berseliweran, cepat, tak beraturan. Tak pula mengacuhkan.<br />
<div align="center">***</div><br />
Tak terasa, sampailah ia di depan pintu gerbang.<br />
<br />
Ia masuk, masih dengan segudang pertanyaan yang tak lekang :<br />
<br />
"Kenapa harus Budi?"<br />
<br />
Ia masuk, meninggalkan papan bertuliskan "Panti Asuhan : Rindu Kasih Sayang"<br />
<div align="center">***</div><br />
"Andai aku Budi... "<br />
<br />
...Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-36437603936353999892010-05-08T09:49:00.001+07:002010-05-09T16:57:08.520+07:00Ada burung di Antennaku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span class="fullpost"> </span><img alt="Dokumentasi Pribadi" class="size-medium wp-image-136181" height="257" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/burung.jpg" width="262" /></div><br />
<div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"></div><br />
<br />
<br />
<br />
Hai kau yang bertengger di atas sana. Berkicau dan meracau. Nyaring, merdu, semaumu, sesukamu.<br />
<br />
Tak tahukah kau, benda apa yang kau hinggapi? Ah! Mana mungkin kau tahu.<br />
<br />
Kuberitahu. Itu namanya antenna. Kata bapakku yang ahli elektronik, gunanya untuk menerima transmisi sinyal UHF.<br />
<br />
Apa itu UHF? Mana kutahu! Yang aku tahu, dari benda yang kau tenggeri itu, televisiku bisa menampilkan gambar dan acara yang beraneka rupa.<br />
<br />
Jangan tertawa, karena saking beranekanya, hingga tak jarang (baca: sering) sekali seragam, hingga aku bingung, apakah mungkin televisiku monogram?<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Juga, tahukah kau. Dari benda yang kau tenggeri sekarang ini. Banyak sekali hal lucu yang ganjil, aneh, tak lumrah dan yang kuherankan kenapa mereka seolah mendoktrin supaya itu semua menjadi lumrah?<br />
<br />
Ghibah dan semacamnya, ribut, gatal, tak sabar ingin mengendus urusan (baca: aib) orang.<br />
<br />
Orang-orang itu, kawanku, yang gemar sekali mengorek-ngorek aib orang. Mereka pintar! Sangat pintar!<br />
<br />
Mereka akses! Mereka paksa! Agar beroleh fakta, atau minimal bicara. Yang kemudian, dapat mereka sunting, tambahkan, kurangi, dan putarbalikkan sesuai selera mereka yang gila akan kontroversi.<br />
<br />
Dan, akses itu, kawanku, lucu! Selalu begitu-begitu! Kubilang salah tempat. Mereka seperti orang bersenjata api, yang menodongkan moncongnya pada kasir, teller, atau brankas-brankas lain, yang mereka dapat dengan instant beroleh uang karenanya.<br />
<br />
Mereka todongkan senjata api itu dengan mantra "kebebasan pers", "kalian dibesarkan media", jika sudah ditodong seperti itu, perlawanan masih dilakukan, ditariklah picu, dan, DOR! Boikot pun dieksekusikan.<br />
<br />
Yang aku heran, kenapa tak mereka todongkan saja senjata itu pada pejabat-pejabat yang diisukan korupsi itu? Paksa! Korek semua fakta!<br />
<br />
Kenapa? Sampai sekarang tak terlihat perubahan yang nyata? Begitu eksklusifkah mereka?<br />
<br />
Ah! Persetanlah mereka kawan! Suaraku mana masuk hitungan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kembali ke tontonan itu kawan, agar tak OOT. Herannya aku, orang lain, khususnya remaja dan ibu-ibu, menontonnya, seolah tak memiliki rasa jemu!<br />
<br />
Apa menariknya itu-itu melulu! Kawin cerai selalu alasan klise yang diucapkan dengan entengnya "sudah tidak ada lagi kecocokan". Bah! Memangnya nikah melulu kecocokan saja! Jika melihat wajah lugu anak yang dikorbankan, aku bertanya, siapa sebenarnya yang anak-anak?<br />
<br />
Belum masalah si anak kemudian menjadi rebutan. Hak asuh katanya. Daripada berebut, kenapa tak bikin lagi saja? Masing-masing satu anak! Simple kan!<br />
<br />
<i>Gitu aja koq</i> repot...<br />
<br />
***<br />
<br />
Itu kawin cerai kawanku. Kau yang terbiasa kawin karena panggilan birahi yang telah melewati masa, aku yakin tak tahu akan hal itu.<br />
<br />
Aku yakin pula, kau pun tak tahu apa itu puber.<br />
<br />
Puber kawan... Memang mengasyikkan.. Tapi jika dieksploitasi secara berlebihan, menjadi memuakkan!<br />
<br />
Tersipu, merah merona, ketika dikonfirmasi "cuma teman biasa" jawabnya.<br />
<br />
Ahai indahnya...<br />
<br />
Begitu pikirnya.<br />
<br />
Tapi jika itu-itu saja, bah! Jenuh aku! Kaupikir hidup hanya melulu berkutat dengan urusan cinta monyet!<br />
<br />
Tak sadarkah mereka? Pubertas mahal harganya? Mereka bisa beli itu semua, dengan uang yang mereka peroleh dari keberuntungan karena dikaruniai fotogenika serta keelokan rupa.<br />
<br />
Atau juga, karena garis keturunan. Jerih payah orangtua, membuat mereka terlahir kaya.<br />
<br />
***<br />
<br />
Iri aku kawanku!<br />
<br />
Miris!<br />
<br />
Tengoklah kawanku, masih banyak saudaraku yang tak sempat menikmati puber. Bahkan tak tahu apa itu puber karena kesehariannya diisi kekhawatiran "adakah nasi hari ini?"<br />
<br />
Mereka yang bergelimang kemewahan, begitu kontras dengan saudara-saudaraku yang lain, yang berpapan di kolong jembatan.<br />
<br />
Tak tega aku melihatnya, ingin kumatikan saja teveku, kurobek koranku, tapi semuanya tak mengubah apa-apa.<br />
<br />
***<br />
<br />
Kau pernah dengar <i>capitalism effect</i> kawanku?<br />
<br />
Kurasa ini salah satunya...<br />
<br />
***<br />
<br />
Hai kau yang bertengger di atas sana. Berkicau dan meracau. Nyaring, merdu, semaumu, sesukamu.<br />
<br />
Masihkah kau mau mendengarkan ceritaku?<br />
<br />
Ada lagi kawanku. Yang tak kalah seru...<br />
<br />
Tapi...<br />
<br />
Besok kawan...<br />
<br />
Aku harus mandi..<br />
<br />
Beraktifitas...<br />
<br />
Berkarya, agar berguna. Mencari nafkah agar bisa bersedekah. Mencari ilmu untuk kemudian kutularkan, agar beroleh kemanfaatan.<br />
<br />
Banyak hal yang harus kulakukan kawanku.<br />
<br />
Begitupun kau.<br />
<br />
Inilah konsekuensi hidup.<br />
<br />
Ketakadilan, jangan jadikan alasan untuk meredup.<br />
<br />
Kaupun juga sama bukan?<br />
<br />
Terbanglah kawan... Melayang, menukik, sesukamu.<br />
<br />
Berkicau dan meracau sekehendakmu.<br />
<br />
Kawinlah! Buahi betinamu! Buat ia telurkan anakmu sebanyak kau mau! Tingkatkan populasimu!<br />
<br />
Kau makhluk bebas kawanku...<br />
<br />
Aku tak melarangmu mengunjungiku..<br />
<br />
Aku tak akan mengurungmu hanya untuk mengeksploitasi suaramu, ataupun anggunnya rupamu.<br />
<br />
Jangan takut kawan...<br />
<br />
Tiap pagi, bertenggerlah angkuh di antenna teveku.<br />
<br />
Besok kawan.<br />
<br />
Kuceritakan hal baru padamu.Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-5608769602624925582010-05-06T17:28:00.000+07:002010-05-06T17:28:16.364+07:00Sekedar Ingin Menyapa...<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="quotesaarcade.com" class="size-medium wp-image-134788" height="248" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/quotesaarcade-dot-com-300x248.gif" width="300" /></div><br />
<br />
<br />
"Assalamu'alaikum.. Warahmatullah... Wabarakaatuh.. Lama banget ga da kabar? Sehat ja kan? Sibuk apa sekarang?"<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Tak lebih dari lima kalimat, untuk mengawali silaturahmi. Tak lebih dari satu jam untuk merekatkannya kembali.<br />
<div style="text-align: center;">***<br />
<a name='more'></a></div><br />
Kesibukan... Entah itu berupa tanggung jawab pekerjaan, masih terikat studi, atau benar-benar malas kemudian melupakan, seringkali menjadi alasan pelarianku untuk tetap menjaga tali silaturahmi.<br />
<br />
Tanpa kusadari, berhala bernama "materi" sedikit demi sedikit telah mengikis rasa kepekaanku terhadap kehidupan sosial.<br />
<br />
Hari demi hari, kuhabiskan waktuku demi mencukupi kebutuhan materi, yang bahkan aku sendiri tak pernah tahu kata cukup dan kapan harus berhenti.<br />
<br />
Materi takkan pernah habis dan takkan pernah selesai untuk dikejar. Ah... Bodohnya aku. Diperbudak materi, dibendakan benda. Hingga, tanpa sadar, waktuku yang begitu berharga, tak kualokasikan dengan proporsional.<br />
<br />
Imbasnya, hanya untuk duduk menemani bapak minum teh, menyaksikan acara teve favoritnya, berbicara, mendekatkan hati dan hati pun aku beralasan "tak punya waktu" pada diriku.<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Assalamu'alaikum! Eh ada tamu.. Dah dari tadi Pak Sus?"<br />
<br />
"Udah.. Mas Widhi baru pulang kuliah apa kerja ne?"<br />
<br />
"Dua-duanya! Hehe. Duduk dulu.. Belom dibikinkan minum ya? Mau minum apa Pak Sus?"<br />
<br />
"Ga usah repot2.. Cukup air putih yang dikasih api nyala!"<br />
<br />
"Haha"<br />
<br />
...</blockquote><div style="text-align: center;">***</div><br />
Ah... Lama sekali rasanya. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku duduk menemani tetanggaku yang sering sekaki sengaja meluangkan waktunya berkunjung ke rumahku.<br />
<br />
Meski hanya sekedar ngobrol ngalor ngidul, sesekali terbahak, tapi terasa sangat lepas. Jauh lebih menyenangkan daripada obrolan tentang tugas, mata kuliah, bisnis, omset, proyek, prospek dan tetek bengek lainnya.<br />
<br />
Tak perlu intelejensia tinggi, untuk mengakrabkan diri. Karena berbicara adalah naluri dasar manusia. Buang semua remeh temeh penjagaan citra (anak muda jaman sekarang menyebutnya jaim), leburkan juga sekat-sekat 'kasta', maka segalanya akan mengalir dengan sendirinya.<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Wid, kalo ga cape, anterin bapak taziah. Mumpung belom ujan. Ato mo besok aja?"<br />
<br />
"Siapa yang ninggal?"<br />
<br />
"Ibunya mas Fitri"<br />
<br />
"Innalillah.. Sekarang aja pak. Saya sholat dulu..."<br />
<br />
...</blockquote><div style="text-align: center;">***</div><br />
Lama sekali aku tak mengunjunginya. Mantan rekan kerja bapakku, yang karena usianya tak jauh beda denganku, akupun kemudian akrab dengannya. Lama tak ada kabar, justru kabar dukalah yang terdengar.<br />
<br />
Dulu ketika ibu dan adikku, pun ketika keluargaku dilanda kemalangan, dia tak pernah absen mengunjungiku. Zalim jika aku tak mensegerakan mengunjunginya.<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
<blockquote>"Bang! Baru mo dibawa ke kuburan ya?"<br />
<br />
"Eh! Lo wid..Kapan dateng?"<br />
<br />
"Baru aja.. Assalamu'alaikum bang.. Ikut belasungkawa, semoga amal ibadah beliau diterima,diampuni dosanya,serta keluarga yang ditinggalkan agar diberi ketabahan"<br />
<br />
"Makasih ya wid.. Gimana? Mo ikut ke kuburan?"<br />
<br />
"Boleh deh, sapa tau besok gw mati. Biar dah tau jalan jadi ga perlu ngrepotin orang bawa-bawa mayat gua. Bisa jalan ndiri!"<br />
<br />
"Haha! Becanda aja lo!"</blockquote><div style="text-align: center;">***</div><br />
Mungkin.. Aku setengah serius. Hal yang paling kuhindari adalah merepotkan orang lain. Dan andai saja, apa yang kukatakan bisa terjadi, aku lebih menginginkan demikian.<br />
<br />
Sayangnya, manusia, yang telah dicabut nyawa dari tubuhnya (baca: mayat) tak mungkin secara wajar berjalan mondar-mandir layaknya manusia bernyawa.<br />
<br />
Jika demikian adanya, tayangan semacam dunia lain, tak akan menjamur dan 'membudaya' pada zamannya.<br />
<br />
Sehingga, mau tak mau, pekerjaan seperti memandikan,mensholati,memikul sampai makam, menggali, mengazani, hingga menutup kubur, merupakan rangkaian 'acara' yang pembawa dan pemerannya harus 'dipasrahkan'.<br />
<div style="text-align: center;">***</div><br />
Jika mengetahui betapa tak berdayanya aku ketika telah tak bernyawa, masihkah aku begitu beratnya untuk paling tidak beritikad:<br />
<br />
"Sekedar ingin menyapa..."<br />
<br />
[caption id="attachment_134785" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar : jocr8.com"]<img alt="jocr8.com" class="size-medium wp-image-134785" height="236" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/jocr8-dot-com-300x236.jpg" width="300" />[/caption]Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-55939810657011097712010-05-06T17:06:00.000+07:002010-05-06T17:06:46.802+07:00Sekolah Pasar dan Pasar Sekolah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="beritakorslet.wordpress.com" class="size-medium wp-image-134770" height="239" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/beritakorslet-dot-wordpress.jpg" width="266" /></div><br />
<br />
<span class="fullpost"> </span> <br />
<br />
<br />
Jika sarjana, hanya menjadi 'sarjana'. Tak lagi ahli di bidangnya. Tak lagi berdedikasi dengan profesinya.<br />
<br />
Nilai dalam ijazahnya, bukan representasi nilai kemampuannya.<br />
<br />
Toga dan semacamnya, hanya menjadi seremonial belaka, tanpa penghayatan tanggung jawab terhadap pengembangan profesi, bidang ilmu, serta sosial.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
***<br />
<br />
Itulah ilustrasi sarjana instant. Dilahirkan universitas yang tak memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan. Menyepelekannya, atau bahkan menginjak-injaknya.<br />
<br />
Tak ada proses pengajaran, yang bahkan di universitas maju telah dikembangkan menjadi penelitian.<br />
<br />
Jika mahasiswa tak mengerti hal yang seharusnya adalah sesuatu yang sangat sepele dan mendasar, bukan pencerahan, akan tetapi tawa meremehkanlah yang didapat sebagai jawaban.<br />
<br />
Kecongkakan dosen telah menjadi hal yang begitu menyilaukan. Begitu tinggi. Hingga dia enggan untuk melihat ke bawah. Pun jika dia melihat ke bawah, tak terlihat apa-apa lagi dalam pandangannya yang berupa dasar.<br />
<br />
Tak ada saling percaya. Menggali ilmu bersama. Hingga, mungkin karena 'malas' mengajari mahasiswa yang dalam pandangannya sebagai kumpulan SDM 'rendah', cukup dengan absensi penuh, nilai 'cukup' terpenuhi. Bahkan ada yang menghargainya 'baik'.<br />
<br />
***<br />
<br />
Inikah pendidikan? Aku tak sanggup membayangkan bagaimana kecewa dan terpukulnya Ki Hajar Dewantara melihat segala yang di perjuangkan dengan keringat darah, hanya menjadi sarana permainan politik dan tempat berdagang.<br />
<br />
Aku tak sanggup membuka mulut jika dia bertanya padaku "hei! Apa beda sekolah dengan pasar? perkelahian, tawuran, bermesraan, kekerasan, makian, palak-memalak, dagang, apalagi hal yang ada di pasar tak ada di sini?"<br />
<br />
Aku yakin, dia dan segala perjuangannya, akan merasa sangat terhina, jika disodori dengan uang gedung, uang seragam, dan uang-uang lain. "Pendidikan memang butuh uang. Tapi pendidikan bukan uang!"<br />
<br />
***<br />
<br />
Tulisan yang kubuat beberapa hari sebelum hari pendidikan. Tapi terhenti di tengah jalan karena kesibukan. Dan....Tak bisa kulanjutkan.<br />
<br />
Stagnan.Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-20192535322736033692010-05-06T14:47:00.000+07:002010-05-06T14:47:00.378+07:00Aku Ingin Menjadi Maling Ayam Saja<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Kaskus.us" class="size-medium wp-image-134650" height="235" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/ayam.jpg" width="240" /></div><br />
<br />
<br />
Namaku mr. X (jangan bilang siapa-siapa ini nama sebenarnya). Aku berprofesi sebagai pejabat di salah satu lembaga. Jabatan yang kuperoleh dengan merogoh saku sangat dalam, hingga sakupun tak lagi berisi apa-apa. Pun, aku masih harus pinjam kesana kemari guna meloloskan <i>goal</i>-ku.<br />
<br />
Tak terhitung uang kukeluarkan untuk 'membeli' simpati masyarakat, yang karena tingkat intelejensi, keinginan, serta kebutuhan atau mungkin ‘sedikit' ketamakan, hingga mayoritas dari mereka tak cukup hanya di'sogok' dengan visi misi.<br />
<br />
Hingga akhirnya... Akupun duduk di sini. Di salah satu lembaga kehormatan. Orang bilang gedung tempatku bernaung menyimbolkan kepongahan, tapi bagiku, ia menjaminkan keamanan, kenyamanan, serta kenikmatan. Tak ketinggalan pula, kemewahan tentunya.<br />
<div align="center">***</div><a name='more'></a><br />
<br />
Jauh sebelum aku duduk disini. Ketika aku masih berstatus mahasiswa, ketika idealisme masih menyala-nyala. Tak jarang aku bersama rekan-rekan sepergerakan turun ke jalan. Berorasi dan demonstrasi, menyuarakan kecaman atas berbagai kebijakan yang merugikan.<br />
<br />
Meskipun, orasi kami selalu masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Meskipun demostrasi kami selalu disambut, dijawab, disepakati, dan dibubarkan dengan kalimat "kami berjanji".<br />
<br />
Dan, seperti yang sudah-sudah, janji tetaplah menjadi janji, tak pernah terjadi realisasi.<br />
<br />
Dari semua itu, aku selalu berpikir. Benakku selalu dipenuhi pertanyaan "Kenapa mereka begitu bebalnya? Tak adakah satupun gantungan yang memungkinkan kritikan <i>nyantol</i> di otak mereka?"<br />
<div align="center">***</div><br />
Setengah periode sudah aku duduk di salah satu kursi di dalam gedung ini.<br />
<br />
Kursi yang sering kulihat banyak yang kosong pada waktu seharusnya mereka diisi.<br />
<br />
Juga tak jarang kulihat kursi yang nyaman ini, berubah fungsi.<br />
<br />
Fungsi yang seharusnya membuat terjaga dan berkarya, berubah drastis 180 derajat karena difungsikan untuk tidur dan mendengkur.<br />
<br />
Apakah begitu membosankannya rapat yang mereka ikuti, ataukah intelejensia mereka sama sekali tak bisa mengikuti?<br />
<br />
Aku sama sekali tak mengerti...<br />
<br />
Aku hanya bisa berdiam diri. Mengamini, serta ikut menikmati.<br />
<br />
Semua ini seperti opium buatku. Aku tahu ini racun! Tapi aku telah terlanjur kecanduan!<br />
<br />
Aku sakau!<br />
<br />
Aku di-sakau-kan kebutuhan anak istri. Kebutuhan yang telah sepenuhnya terkontaminasi.<br />
<br />
Kebutuhan yang sebenarnya telah menyublim. Tempatnya yang seharusnya, telah digantikan 'keinginan' yang menyeruak masuk dan memaksa hingga tanpa terbendung mengkamuflasekan dirinya secara sempurna sebagai sebuah kebutuhan.<br />
<br />
Padahal tahukah? Jika keinginan itu seperti lingkaran setan? Seperti meminum air garam? Alih-alih cukup, malah tak akan berhenti karena tak ada batasan untuk kata 'puas'.<br />
<div align="center">***</div><br />
Kini, kembali kutuliskan memoar ini. Ketahuilah, sekarang aku tengah frustasi. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi.<br />
<br />
Aku telah melewati masa transisi dimana aku kembali mengabaikan nurani, kembali mendengarkan kata hati.<br />
<br />
Aku ingin bertaubat...<br />
<br />
Melihat rakyat masih banyak yang melarat, hingga tak jarang terpaksa menghidupi diri dengan cara-cara keparat.<br />
<br />
Mereka dikejar, disalahkan, dinistakan, dicaci maki, dikebiri kehormatannya dihadapan 'keadilan'. Padahal tahukah kau, akulah keparat sebenarnya!<br />
<br />
Kuambil hakmu hingga kau tak makan! Dalam <i>Crown</i>-ku, ada nasimu! Dalam dasiku, ada susu bayimu! Dalam tunjanganku, ada biaya sekolah anakmu! Dalam 'tidur'ku, ada tawamu...<br />
<br />
Kini, ketika aku menyadari kesalahan, kekhilafan, serta kelemahan diri... Kendala menghampiri.<br />
<br />
Mereka takut aku keceplosan dan membongkar kedok mereka.<br />
<br />
Gila! Apa mereka tak tahu, kalau semua ini bukan hanya borok! Tapi sudah menjadi bangkai yang kebusukannya tercium tanpa kau mendenguskan hidungmu!<br />
<br />
Kini aku tahu, kenapa data, serta fakta yang telah nyata, selalu dijawab dengan kilahan "itu hanya rekayasa".<br />
<br />
Untuk aku yang dengan kepasrahan penuh mengakui kesalahan dan menginginkan hukuman saja, masih terlilit berbagai tetek bengek politis serta kepentingan yang saling berbenturan tak beraturan.<br />
<br />
Jika begini adanya, aku ingin menjadi maling ayam saja.<br />
<br />
Yang dengan elegannya mudah dihakimi massa. Dihajar hingga babak belur bahkan tak jarang kehilangan nyawa.<br />
<br />
Tangan-tangan massa itu... Yang dalam setiap kepalannya terdapat amarah dan murka. Murka karena terlalu pendeknya, hingga jangkauannya tak pernah sampai kepadaku.<br />
<br />
<br />
Aku ingin menjadi maling ayam saja!<br />
<br />
Hajar!<br />
<br />
Bakar!<br />
<br />
Tak perlu sayang peluru, tembak aku semaumu!<br />
<br />
Hukum aku sepuasmu...<br />
<br />
Karena aku tak sedikitpun lebih mulia bahkan lebih hina dibandingnya...<br />
<br />
Maling ayam tak pernah menghabisi nyawa korban maupun jarahannya...<br />
<br />
Sedangkan aku.. Lebih kejam dari itu... Bukan nyawa, tapi masa depan, cita-cita, serta harapan ribuan orang mati! Hingga doa mereka menguap sia-sia.<br />
<br />
Aku ingin menjadi maling ayam saja...<br />
<br />
Hajar!<br />
<br />
Bakar!<br />
<br />
Hangus!<br />
<br />
Menguap bersama asap!<br />
<br />
Mati!<br />
<br />
Dan tak pernah hidup lagi...Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-29072421179717417602010-05-06T14:29:00.000+07:002010-05-06T14:29:05.557+07:00Kuman yang Terlupakan...<i>Sebelum kita makan dik...</i><br />
<br />
<i>Cuci tanganmu dulu...</i><br />
<br />
<i>Menjaga kebersihan dik...</i><br />
<br />
<i>Untuk kesehatanmu...</i><br />
<br />
<img alt="" class="aligncenter size-medium wp-image-133761" height="215" src="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/kliniksehatmadani-dot-wordpress.jpg" width="250" /><br />
<div align="center"><i>***</i></div><br />
Masih ingat potongan lagu ciptaan Pak Kasur diatas? Lagu tersebut sempat populer di pertengahan dekade 1990-an. Bagiku, lagu dengan melodi sederhana dan lirik yang singkat tersebut, sarat akan makna.<br />
<br />
Selain karena telah jarangnya, lagu-lagu serupa di ‘era' sekarang ini. Era industrialisasi ‘cinta' yang bertanggung jawab terhadap ‘matang' lebih dininya anak-anak, yang karena tak ada pilihan lain ‘terpaksa' menjadi konsumennya.<br />
<br />
Tak ada lagi Sherina, tak ada lagi Joshua, tak ada lagi Tasya. Hingga, The Virgin, D'massiv, Wali, dan sebagainya menjadi ‘satu-satu'nya pilihan mereka.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Ah... tinggalkan industrialisasi tanpa idealisasi tersebut...<br />
<br />
Makna yang tersirat (sangat jelas) dalam potongan lagu diatas, yaitu tentang pentingnya menjaga kebersihan sebelum makan. Mencuci tangan untuk membunuh semua kuman. Hingga higiensi proses makan tetap terjaga, dan kesehatan pun terjamin. Dan kesemuanya, perlu ditanamkan pada anak-anak sejak dini supaya menjadi kebiasaan demi kesehatannya.<br />
<br />
Sering kita lihat dalam iklan-iklan sabun kesehatan. Tentang kontaminasi berbagai kuman melalui sentuhan. Yang kesemuanya perlu dan harus dibersihkan ketika hendak makan. Terlepas dari komersil atau bukan tujuannya.. Tetap saja, sedikit banyak ada fakta didalamnya.<br />
<br />
Kita begitu khawatir dengan higiensi makanan serta segala macam peralatannya. Kita begitu takut akan kuman-kuman yang membawa penyakit masuk ke dalam tubuh kita.<br />
<br />
Tapi, tahukah Anda? Ada kuman-kuman tak kasat mata, yang sering diabaikan dan tanpa kita sadari, masuk ke dalam tubuh dan mengalir melalui sistem peredaran darah, masuk ke otak, dan ke seluruh anggota tubuh lain.<br />
<br />
Sudahkah kita khawatir akan ‘kuman' dalam harta kita? Harta yang kita tukarkan menjadi makanan... Sudahkah mereka dizakatkan? Sudahkah mereka memenuhi kriteria jika ditanya darimana mereka berasal? Dan kemana mereka dibelanjakan?<br />
<blockquote><i>"Seorang anak Adam sebelum menggerakkan kakinya pada hari kiamat akan ditanya tentang lima perkara: (1) Tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya; (2) Tentang masa mudanya, apa yang telah dilakukannya; (3) Tentang hartanya, dari sumber mana dia peroleh dan (4) dalam hal apa dia membelanjakannya; (5) dan tentang ilmunya, mana yang dia amalkan."</i> (HR. Ahmad)</blockquote>Harta-lah satu-satunya hal yang dimintai pertanggungjawaban ganda. Darimana dan kemana? Jika ‘steril' ia didapat, kemudian ia ditukarkan menjadi makanan, maka ‘steril' dan ‘higienis' pulalah makanan yang kita makan. Dan tahukah, jika ‘sterilitas' makanan tersebut, sangat mempengaruhi watak, akhlak, perilaku, pola pikir, serta nurani Si Pemakan? Bersih ia, bersih pulalah jiwa. Kotor ia, tercemar pulalah jiwa.<br />
<blockquote><i>"Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati."</i> (HR. Bukhari)</blockquote>Kiranya, tak perlu kusebutkan apa-apa dan darimana harta ‘kotor' itu berasal. Media kita telah terlalu banyak meng'eksploitasi' tentangnya. Atau mungkinkah karena <i>over exploited </i>hingga, kesemuanya menjadi hal yang ‘dilumrahkan'? Ah... <i>What a pathetic moral hazard. </i><br />
<div align="center">***</div><br />
Masih segar dalam ingatan kita, tentang kisah seorang lelaki bernama Idris (lengkapnya Idris bin Abas). Lelaki yang kemudian dikenal karena kezuhudannya. Begitu zuhudnya ia, buah yang tak sengaja ia temukan dan ia makan satu gigitan, ia susuri sungai terjal dan panjang hanya untuk mencari pemilik buah itu dan meminta keridlaan atas satu gigitan yang telah terlanjur masuk ke dalam pencernaannya.<br />
<br />
Susah payah, lelah, bahkan perasaan putus asa urung ia acuhkan. Ia lebih takut, buah yang hanya satu gigitan itu, kelak menjadi bara yang membakar pencernaannya...<br />
<blockquote><i>"Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya."</i> (HR. Ath-Thabrani)</blockquote>Tak sia-sia pencariannya. Ditemuinya Si Empunya buah guna meminta maaf dan memohonkan ridlanya. Jauh dari harapan. Sang Pemilik mensyaratkan agar Idris membantunya dan membebani berbagai pekerjaan sukarela sebagai penebus atas ke'sembrono'annya.<br />
<br />
Alih-alih protes dan menolak, ia jalani hari-hari ‘perbudakan' dengan ikhlas. Dan, ketika tiba hari yang ditentukan sebagai hari berakhirnya perjanjian. Maka, hari itu pulalah jatuh tempo bahwa satu gigitan buah telah halal. Begitu pikirnya.<br />
<br />
Lagi-lagi, semua tak seperti dugaan. Pemilik mensyaratkan satu hal lagi. Yaitu, agar ia mau menikahi putrinya yang buta, tuli, bisu, bahkan tak memiliki kaki dan tangan.<br />
<br />
Lagi-lagi, ia terima tanpa menyanggah sedikitpun. Tapi, satu hal lagi yang tak diduganya, dan tanpa dapat ia tutupi, ia terkejut bukan main karenanya. Putri yang disebutkan dan dalam gambarannya adalah seorang cacat fisik, ternyata cantik jelita dan tak kurang suatu apa.<br />
<br />
"Putriku buta, karena tak pernah melihat segala sesuatu yang diharamkan oleh-Nya. Dia tuli, karena tak pernah mendengar segala sesuatu yang yang diharamkan oleh-Nya. Dia bisu, karena tak pernah mengucapkan segala sesuatu yang diharamkan oleh-Nya. Dia juga tak memiliki kaki dan tangan yang digunakan untuk melakukan hal-hal maksiat dan diharamkan oleh-Nya. Nikahilah ia, dengan restuku, ia sah menjadi istrimu".<br />
<br />
Tak heran, dari kezuhudan kedua orang tuanya, lahirlah seorang anak jenius yang dalam usia 9 tahun (beberapa riwayat menyebutkan 7 tahun) telah mampu menghafal Alquran. Dan dalam usia dewasanya, menjadi Imam Mazhab yang memiliki jama'ah terbanyak. Dialah Imam Syafi'i.<br />
<div align="center">***</div><br />
Masih banyak riwayat serupa. Riwayat tentang orang-orang yang sangat menjaga makanannya dan memiliki pandangan bahwa "Rizki selalu halal."<br />
<br />
Dan salah satunya, tentang seorang perempuan penjual susu. Setiap kali mencampur susu dengan air ia sangat hati-hati. Ia takut susu itu hilang kemurniannya. Ia tak mau membohongi si pembeli. Dan dengan sikap kehati-hatian perempuan itulah, Allah mengaruniakan seorang anak shaleh. Yang ahirnya ketika tumbuh besar menjadi sosok yang luar biasa. Sosok itu adalah Umar bin Abdul Aziz. Siapa tak kenal khalifah zuhud ini?<br />
<blockquote>"Ah... Itu kan riwayat. Di tengah realita sekarang ini, hal itu hampir mustahil".</blockquote>Tengoklah pengalaman Sus Woyo. Yang dalam kisahnya, ia memiliki teman yang begitu zuhud. Penasaran, ia temui orang tua Si Zuhud ini.<br />
<br />
Salim namanya. Dari cerita orang-orang terdekatnya, ia tak pernah mau menerima uang ‘serangan fajar' ketika Pemilu tiba.<br />
<blockquote><i>"Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang bagi mereka."</i> (HR. Ahmad)</blockquote>Juga, ia tak pernah menyimpan uang di bank konvensional. Riba katanya.<br />
<blockquote><i>"Akan datang satu masa dimana tiada seorangpun yang tidak makan uang riba. Kalau tidak ribanya maka ia akan terkena asapnya (atau debunya)."</i> (HR. Abu Dawud)</blockquote><div style="text-align: center;">***</div><br />
Semoga riwayat-riwayat di atas, dapat mengingatkan kembali tentang arti pentingnya ke'halal'an. Dan bukan hanya menjadi label yang ditempelkan dalam makanan. Bukan hanya menjadi "syariah" embel-embel saja. Bukan hanya menjadi kopiah dalam penampilan saja.<br />
<blockquote><i>"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya." </i>(Q.S. 5 : 88)</blockquote>Wallahua'lam bisshowab...<br />
<br />
Nuwun...<br />
<br />
Widhi Satya.Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-38143261245943157192010-05-05T11:44:00.002+07:002010-05-05T12:53:49.606+07:00Paradoks Kopiah<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67o5PUi8gRCNyAIvSJkXSIWejH57kFD_IXEbxs5SUep8oPaVhxX6gyH2zbL5ALRpBENYPsU4BVDoQ6uKPYn50GzER0Nj7TGmwT0qltZotGkOBLYf8WMb3hdDYqGhXzm0NbsVSNnDRfT8/s1600/dreamstime+dot+kom.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh67o5PUi8gRCNyAIvSJkXSIWejH57kFD_IXEbxs5SUep8oPaVhxX6gyH2zbL5ALRpBENYPsU4BVDoQ6uKPYn50GzER0Nj7TGmwT0qltZotGkOBLYf8WMb3hdDYqGhXzm0NbsVSNnDRfT8/s320/dreamstime+dot+kom.jpg" /></a></div><br />
<span class="fullpost"> "Ayo Wak Aji! Bisa <i>jelasin nggak?</i>"<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Wak Aji. Begitu dosenku biasa menyebutku. Dosen sekaligus dekan di fakultasku. Mungkin dia tak tahu nama asliku. Baginya, aku bukanlah Widhi Satya. Aku adalah "Wak Aji"<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Belakangan kutahu, <i>nickname </i>yang diberikannya, (karena aku satu-satunya mahasiswa yang mengenakan kopiah di kelas) ternyata berasal dari bahasa Betawi. Di Betawi, karena dialek serta logat mereka, panggilan yang sehari-hari kita sapa dengan Pak Haji, berubah bunyinya, hingga akhirnya orang-orang Betawi pun menyebut dengan "Wak Aji".<br />
<br />
Aneh memang. Ternyata, bukan nama lah yang menjadi ‘identitas'ku di matanya. Tapi...<br />
<br />
Kopiah.</span><br />
<a name='more'></a><span class="fullpost"><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost"> </span><br />
<span class="fullpost"> </span></div><div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Darimana dan kapan kopiah ditemukan? Siapa yang mempopulerkan? Dan siapa pemakai terbanyaknya? Itu tak penting. Sejarah bukan bidang ilmu favoritku.<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Yang menjadi fokus perhatianku adalah bahwa sekarang ini, kopiah sering dikenakan untuk menunjukkan identitas "aku muslim, dan aku alim".<br />
<br />
Begitu sakralnya kopiah. Hingga tak afdhol jika mengaku alim tapi tak mengenakan kopiah.<br />
<br />
Cukup dengan mengenakan kopiah, orang akan yakin bahwa ‘Beliau' ustadz. Kalau begitu, jangan-jangan tukang satai juga ustadz?<br />
<br />
Cukup dengan mengenakan kopiah juga, terdakwa seolah telah menyatakan penyesalan dan pertaubatan dari segala kesalahannya. Perlukah ditambahkan dalam undang-undang, "remisi diberikan kepada terdakwa yang mengenakan kopiah dalam persidangan".<br />
<br />
Cukup dengan mengenakan kopiah juga, pejabat legislatif maupun eksekutif bersama para pembantunya, dilantik serta disumpah akan loyalitas serta dedikasi mereka kepada negara. Perlukah KPK menerapkan standar baru, bahwa pejabat berkopiah adalah pejabat bersih?<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Sudahkah kopiah kehilangan identitas dan hakikatnya? Sudahkah kesuciannya terkebiri hati-hati riya' pemakainya? Semoga belum... Mungkin cuma syak wasangka serta <i>suudzonku </i>belaka..<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Dibalik semua identitas, serta <i>trademark </i>budaya tentang kopiah di masyarakat. Terdapat sebuah esensi khusus yang melatarbelakangi pemakaian kopiah bagi seorang muslim (bukan muslimah).<br />
<br />
<i>"Sujud dengan tujuh anggota badan dan dilarang menutup dahi dengan rambut dan pakaian.</i>" (H.R. Muslim)<br />
<br />
Artinya, kopiah pada dasarnya adalah sebuah penutup yang digunakan untuk menghalangi jatuhnya rambut ke dahi, hingga dapat menghalangi dahi dengan tempat sujud dan dapat membatalkan sujud. (Jika sujudnya batal, otomatis shalatnya juga...)<br />
<br />
<i>Simple-</i>nya, kopiah, pada dasarnya adalah alat bantu yang dikenakan dengan harapan terpenuhinya syarat sahnya sujud.<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
Adalah paradoks, jika sebuah simbol ketundukan, kesadaran akan kecilnya diri dihadapan Ilahi, betapa kepala yang begitu ‘terhormat', kita sejajarkan dengan mata kaki di posisi terendah... Kemudian dikenakan, sebagai simbol ke'aliman', dikotori dengan hati riya' karena terlalu bangga atau ingin berlindung dibalik kedok "aku muslim, dan aku alim".<br />
</span><br />
<div align="center"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost"><br />
<b>Offline Note </b><br />
<br />
Bukan kopiah ataupun pemakaian kopiahlah yang ingin kuributkan. Tapi esensinya. Kita terlalu sering disibukkan dengan ‘penampilan luar' dan kadang melupakan apa sebenarnya makna yang terkandung di dalamnya... Tawadhu'<br />
<br />
Penulis juga suka mengenakan kopiah. Apakah juga termasuk riya'?<br />
<br />
Wallahua'lam bisshowab... </span>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-35965716150989230042010-05-01T17:28:00.001+07:002010-05-02T14:45:07.295+07:00Unas yang tak Lunas<span xmlns=""></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.diknas.go.id/headline/1231751555.bmp" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://www.diknas.go.id/headline/1231751555.bmp" width="320" /></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Ujian Nasional (Unas / UN – istilah mana yang lebih tepat aku tak tahu. Tak peduli lebih tepatnya). Aku (sengaja) mencoba acuh dengan 'festival' tahunan pendidikan ini. Mencoba tutup telinga dengan suara-suara kontra (memang tak kudengar 1 suara pro pun). Karena dalam pandanganku, jika diterapkan dalam kultur masyarakat seperti di Indonesia, ujian nasional lebih banyak madhorot daripada manfaatnya. </span></span><br />
<a name='more'></a><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Ingin bukti? Sekarang kita coba flashback (ulas lebih tepatnya) dengan sedikit pengandaian. Misalkan, aku seorang siswa SMA (<i>fresh comer</i>), apa yang terlintas di kepalaku jika disebutkan kepadaku kata 'sekolah' (meskipun misalnya aku masuk sekolah favorit). Belajarkah? Menuntut ilmu kah? </span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Maaf... aku mencoba terbuka dan jujur. Sekolah bagiku hanya kegiatan rutinan saja. Pagi berangkat, siang pulang, sampai rumah (jarang) belajar. Sudah. Kehidupan utamaku saat itu adalah bersosialisasi (baca : <i>hang out, having fun</i>) dengan anak sebayaku, dan ketekunanku lebih kucurahkan kepada hal-hal 'ekstra' di luar kegiatan rutinan sekolah.</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Dan, silakan, boleh disurvei, 70% (bahkan mungkin lebih) remaja SMA berpikiran dan menjalani 'kehidupan' sama denganku. Jikalau ada, yang 30% tersebut, dan mendedikasikan masa remaja mereka dengan kesadaran penuh untuk melulu 'sekolah' aku <i>haqqul yakin </i>dalam hati terdalam mereka, bukan itu yang mereka inginkan. </span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Maaf...bukan berarti aku menyamaratakan semua tipikal remaja sama denganku. Tapi, memang itulah hal yang se'wajar'nya. 30% yang kusebutkan di atas, adalah mereka yang matang lebih dini, dewasa sebelum waktunya. Kesadaran dan bertanggung jawab bahwa 'sekolah' yang dijalaninya adalah merupakan amanah, adalah tipikal manusia dewasa seutuhnya. Beda dengan remaja 'murni', yang bahkan belum memiliki gambaran akan masa depannya, karena di mata mereka (aku dahulu) hidup adalah "saat ini" persetan "nanti".</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Jadi, sampel yang akan kuambil adalah sampel 'remaja' bukan manusia dewasa dalam usia remaja. Karena sangat jarang dan sulit menemukan tipikal yang terakhir ini, apalagi dengan invasi 'ideologi' melalui berbagai media tentang bagaimana 'seharusnya' seorang remaja seperti sekarang ini.</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Bisa dibayangkan bukan? Ketika sekolah hanya menjadi kegiatan rutinan, pelajaran dan pengajaran hanya dianggap 'gangguan'. Belajar dan semacamnya? "emang besok ada ulangan ya?" Bah! Jadwal ulangan pun kau tak tahu... :nohope:</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Itulah sebabnya tradisi belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) telah menjadi budaya yang mengakar sangat dalam... (jangankan kebut semalam, waktu ujian nasional aku sama sekali tak belajar pun, pernah... :nohope:). SKS masih menjadi senjata andalan guna menghadapi ujian. Masih <i>mending </i>malam SKS dimanfaatkan 'sebaik-baiknya' untuk belajar. Tak jarang bukan? Malam SKS justru digunakan untuk menulis 'rajah'. <i>Really </i>:nohope:.</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><i>So, is it any wrong with the 'system'</i>? <i>Nope! System never wrong. People does. </i>Sebenarnya, apa tujuan diadakannya ujian nasional? Meng-kiri-kan mata pelajaran yang tak diikutsertakan dalam Unas? Mencoba menciptakan manusia '<i>perfect'</i> yang menguasai semua bidang ilmu? Mencoba mem'benda'kan siswa dengan menilai mereka seutuhnya melalui angka-angka? Atau malah menguji <i>skill </i>masing-masing siswa serta keampuhan 'rajah' yang mereka petakan nasib mereka didalamnya setelah mengarungi malam panjang SKS? APA???</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: center;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">***<br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""> </span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Kuharap... </span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Jangan lagi ada tangis keputusasaan dan perasaan tak berguna karena menganggap diri 'tak kompeten'. Jangan lagi ada manusia-manusia yang 'mendadak' religi (hanya) dalam beberapa hari, dan menjadi manusia yang sama sekali jauh dari cerminan 'terpelajar' di hari yang lainnya melalui euforia selebrasi yang sama sekali tak bermakna apa-apa selain hura-hura. </span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Jangan lagi.... ada jasad yang mati... </span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: center;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">***</span></span><br />
<span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"><br />
</span></span></div><div style="text-align: justify;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">Maaf... opini di atas hanyalah sebatas opini... tanpa solusi yang berarti sama sekali... karena... aku hanyalah <i>Mr. Theory.</i></span></span><br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;">***<br />
</span></span></div>Terinspirasi dari ... <a href="http://regional.kompas.com/read/2010/04/28/08461180/Duh.Tak.Lulus.UN.Bunuh.Diri">kisah Wahyu Ningsih</a> <span xmlns=""><span style="font-family: Book Antiqua; font-size: 12pt;"> </span></span></div><span xmlns=""></span>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-42580927854400747752010-05-01T16:44:00.001+07:002010-05-02T11:36:11.749+07:00Transformasi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.online-mandalas.de/img/pool/transformation.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://www.online-mandalas.de/img/pool/transformation.gif" width="316" /></a></div><br />
<span class="fullpost">1 Mei. Awal bulan baru. Bulan Masehi lebih tepatnya. Tapi bagiku, ini bukan cuma sekedar pergantian bulan. Bukan cuma sekedar tanggal satu. Tapi memiliki arti lebih. Transformasi.</span><br />
<a name='more'></a><span class="fullpost"></span><br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost">3 tahun. Waktu yang kuhabiskan dan kudedikasikan sepenuhnya untuk pekerjaan lamaku. Waktu yang kujalani dengan jerih payah keringat, mulai dari freelance yang tak memiliki tanggung jawab apa-apa, sampai kemudian diamanahi tanggung jawab yang ‘besar’. </span><br />
<span class="fullpost"><br />
Mungkin karena terlalu besar, hingga tubuh, pikiran, serta segala daya upayaku ini, tak sanggup untuk untuk mengembannya terlalu lama. </span><br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost">Amanah itu berupa tanggung jawab. Tak hanya tanggung jawab kepada atasanku langsung, tapi kepadaku sendiri, kepada keluargaku, dan berbagai pihak termasuk konsumen. </span><br />
<span class="fullpost"><br />
Seperti halnya tanggung jawab yang lain, segalanya membutuhkan pengorbanan. Entah waktu, pikiran, bahkan mungkin (dan tak jarang) materi... </span><br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span class="fullpost">***</span></div><span class="fullpost">Aku jenuh...<br />
</span><br />
<span class="fullpost">Aku lelah... <br />
</span><br />
<span class="fullpost">I already broke my limit...<br />
</span><br />
<span class="fullpost">I can’t get through anymore...</span><br />
<div style="text-align: center;"><br />
<span class="fullpost">***</span></div><br />
<span class="fullpost">Ketika dilema melanda... Kekhawatiran pun menghampiri. Akankah ini godaan? Ataukah ini ‘jalan’? </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kemudahan yang Rabb-ku berikan kepadaku karena mengetahui keadaanku? </span><br />
<div style="text-align: center;"><br />
<span class="fullpost">***</span></div><br />
<span class="fullpost">Aku bimbang...</span><br />
<div style="text-align: center;"><br />
<span class="fullpost">***</span></div><br />
<span class="fullpost">Aku tak ingin mengkhianati apa-apa yang telah diamanahkan penuh kepadaku. Tapi, di sisi lain... aku punya kehidupan. Aku adalah ‘makhluk’. Dan aku hidup.<br />
</span><br />
<span class="fullpost">Aku pribadi bebas yang memiliki asasi untuk memilih jalanku sendiri. Untuk memiliki kebahagiaanku sendiri. Mendapatkan dan merasakan apa yang nyaman dan terbaik menurutku. </span><br />
<div style="text-align: center;"><br />
<span class="fullpost">***</span></div><br />
<span class="fullpost">Keputusan telah kubuat dan kuputuskan. Keraguan di awal, sama sekali tak menyurutkan pendirian dan keyakinanku bahwa “inilah yang terbaik”. Untuk berbagai pihak, untukku...</span><br />
<div style="text-align: center;"><br />
<span class="fullpost">***</span></div><br />
<span class="fullpost">Farewell...<br />
</span><br />
<span class="fullpost">Ex-“The Best”<br />
</span><br />
<span class="fullpost">For my former “senpai”...<br />
</span><br />
<span class="fullpost">Without lacking my respect for you...<br />
</span><br />
<span class="fullpost">Thank you for everything...<br />
</span><br />
<span class="fullpost">Jazakallah... “mumtaz”al jaza’...<br />
</span>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-29886669537800101892010-04-26T13:26:00.000+07:002010-04-26T13:26:45.986+07:00Allahu Akbar... Allahu Akbar....<div style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"></div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/zazzle-dot-kom-300x300.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/zazzle-dot-kom-300x300.jpg" /></a></div><br />
<div style="text-align: center;">*** </div>"Dengan ini, dewan hakim menyatakan, yang bersangkutan tidak bersalah."<br />
<br />
Tok! Tok!<br />
<br />
"<b>Allahu Akbar!</b>"<br />
<div align="center">***</div><br />
"Woi! Minggir! Satpol sialan! Berani lo ya! <b>Allahu Akbar!</b>"<br />
<div align="center">***</div><br />
"Kami! Para demonstran menuntut mundur Beliau sekarang juga! Rekan-rekan, ayo kita seret dia keluar! <b>Allahu Akbar!</b>"<br />
<div align="center">***</div><br />
"Demi agama dan akidah kita, serang rumah ibadah dan bacok mereka! <b>Allahu Akbar!</b>"<br />
<div align="center">***</div><br />
"Pemirsa, kami disini melaporkan dari tempat akan dipindahkannya rutan para tersangka kasus pengeboman. Baik. Kita lihat mereka telah keluar dan sedang menuju ke mobil yang akan membawa mereka ke rutan mereka yang baru.<br />
<br />
"Bagaimana tanggapan Anda dengan pemindahan rutan Anda?"<br />
<br />
"<b>Allahu Akbar!"</b><br />
<div align="center">***</div><br />
<i>*) Ilustrasi di atas, hanyalah fiktif belaka. Kesamaan tempat dan peristiwa, merupakan kebetulan yang disengaja.</i><br />
<div align="center">***</div><br />
Kumatikan televisi. Kubuang koran. <i>Edan</i>... Kenapa kalimat takbir jadi pasaran begini ya? Terdakwa, kriminal, demonstran, ‘wakil rakyat' yang <i>berantem</i> di gedung DPR, pembukaan pidato, semua ‘melafalkan' kalimatullah seolah kalimat itu hal yang remeh saja.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Seolah kalimat tersebut menjadi ‘semboyan kebengisan', konotasi anarkisme, teriakan murka, luapan keras kepala, dan segala macam stigma miring lainnya.<br />
<br />
‘Allahu Akbar' dimana-mana. Dan ironisnya, "dimana-mana" itu, seringkali tidak pada tempatnya. Seringkali, dan memang sangat sering, "dimana-mana" itu adalah di tengah kerusuhan, di tengah ke'semrawut'an, di tengah ke'ganjil'an.<br />
<br />
Orang dengan mudahnya melakukan konfrontasi dan penganiayaan sambil meneriakkan "Allahu Akbar". Orang dengan mudahnya mengacak-acak ‘tempat maksiat' juga sambil meneriakkan "Allahu Akbar".<br />
<blockquote><i>"Pernah ga denger triakan Allahu Akbar.</i><br />
<br />
<i>Pake Peci tapi kelakuan bar-bar.</i><br />
<br />
<i>Ngerusakin bar...</i><br />
<br />
<i>Orang ditampar-tampar"</i><br />
<br />
[Slank - Gossip Jalanan]</blockquote><div align="center">***</div><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/cybermq-dot-com-300x279.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="186" src="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/cybermq-dot-com-300x279.jpg" width="200" /></a></div>Aku bisa membayangkan. Jauh pada zaman Rasulullah SAW. Di tengah kobaran perang yang berkecamuk, mempertahankan akidah, menghadapi kaum Kafir Quraisy. Teriakan Allahu Akbar lantang dimana-mana. Bukan sebagai "mantra untuk membunuh musuh". Tapi lebih kepada seruan dan ikrar akan ‘identitas' mereka. Identitas yang terancam menjadi amukan, siksaan, bahkan kehilangan nyawa, hanya karena ‘keceplosan' mengucap kalimatullah.<br />
<br />
<br />
Maka, dalam perang yang berkobar (sebagai bentuk resistensi, bukan agresivitas, juga karena tak dapat lagi dicegah oleh dakwah diplomatik) itulah, setiap muslim dengan lantang meneriakkan kalimat takbir yang jika kuterjemahkan secara bebas berarti...<br />
<blockquote>"Kami muslim! Dan kami bangga! Akidah kami tak kan goyah! Meskipun nyawa menjadi taruhannya, kami tak gentar sedikitpun!"</blockquote>Dan, ketika salah satu mujahid gugur, maka kalimat Takbir yang bertalu-talu itu menjadi saksi syahidnya mereka. Serta menjadi ‘nyanyian' disepanjang jalan mereka, menuju tempat yang telah dijanjikan-Nya, ditemani bidadari bermata jeli.<br />
<blockquote><i>"dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenankanNya kepada mereka."</i> [Muhammad : 6]</blockquote><div align="center">***</div><br />
"Allahuakbar... Allahuakbar..."<br />
<br />
"Hei! Udah... brenti dulu kerjanya... dah dipanggil tu ma Bos Besar!"<br />
<div align="center">***</div><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/edymas-dot-wordpress-dot-kom-300x260.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="173" src="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/edymas-dot-wordpress-dot-kom-300x260.jpg" width="200" /></a></div>Seruan yang sungguh indah. Terlebih Jika dilafalkan oleh penyeru yang loyal kepada Tuhannya, dan berdedikasi terhadap jamaah. Seruannya akan merasuk masuk sangat dalam, dan menggetarkan setiap relung jiwa yang dilaluinya.<br />
<br />
Ketika pagi, seruan itu menjadi alarm. Supaya manusia tak lebih ‘malas' dari ayam. Gemanya yang bertalu-talu, memecah kesunyian pagi. Membangunkan, serta mengingatkan kita akan telah diberikannya hari baru (lagi). Dan bahwasanya tak ada ucapan syukur yang lebih baik dari mendirikan sholat, dan bukan tidur. <i></i><br />
<blockquote><i>"Assholaatu khairumminannaum..."</i></blockquote><div align="center"><i>***</i></div><br />
Tengah hari, seruan itu menandai jeda aktivitas. Ketika otak telah penat, mata telah lelah, serta perhatian telah diforsir setelah setengah hari berkutat dengan pekerjaan.. Saatnya istirahat sejenak. Segarkan semua indera, dengan siraman air wudlu, dan kembali bersihkan hati dengan ruku' dan sujud.<br />
<blockquote><i>"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan."</i> [Al Hajj : 77]</blockquote><div align="center">***</div><br />
Pun ketika sore, senja, bahkan malam hari. Untuk mengingatkan kita, bahwa sebelum dan setelah ke'tidaksadar'an kita ketika tidur, maupun kala ditengah kesibukan aktivitas, kita diwajibkan untuk selalu mengingat-Nya, seruan indah itu selalu dikumandangkan. Seruan yang diawali dan diakhiri pula dengan kalimat Takbir.<br />
<div align="center">***</div><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/alwies-dot-wordpress-dot-kom-300x222.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="148" src="http://stat.ks.kidsklik.com/files/2010/04/alwies-dot-wordpress-dot-kom-300x222.jpg" width="200" /></a></div>Ketika kita telah bersuci serta menjaga kesucian pakaian dan tempat. Ketika kita telah berdiri dengan tuma'ninah, dan niat telah terikrar di kalbu. Kita tundukkan pandangan tanda kekhusu'an penuh di hadapan Sang Khaliq. Kemudian mengangkat tangan, dan melafalkan....<br />
<br />
"Allahu Akbar...."<br />
<blockquote><i>"(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,"</i> [Al Mu'minuun : 2]</blockquote><div align="center">***</div><br />
"Alhamdulillah... Besok puasa terakhir ya bi?"<br />
<br />
"Iya... Tapi hamdalah kamu itu dalam rangka apa? Bersyukurlah hanya jika kamu dalam ramadhan ini, telah dapat menahan hawa nafsu sepenuhnya, bukan hanya cuma nahan lapar dan haus. Jangan bersyukur karena kamu seolah bisa bebas melakukan apa saja, seperti hari-hari biasa.. Karena semua amalan ramadhan, tanpa mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari setelahnya, ibarat sia-sia belaka. Lagipula, seorang muslim, akan selalu rindu dan mengharapkan datangnya ramadhan lagi. Paham kamu?"<br />
<br />
"Paham bi! Setelah ramadhan, bisa bebas makan di siang hari lagi kan?"<br />
<br />
"Ah! Kamu dinasihatin abi bercanda terus..."<br />
<br />
"hehehe..."<br />
<br />
"Dasar anak-anak... Kamu bisa dengan santainya mengguraukan makanan yang sehari-hari kamu tak pernah risau, dan bisa hampir dipastikan, bahwa setiap hari kamu selalu akan mendapatkannya di meja makanmu. Tapi tahukah kamu nak? Berapa banyak anak-anak seusia kamu tak seberuntung kamu?"<br />
<br />
"Maksud abi?"<br />
<br />
"Bersyukurlah nak..."<br />
<br />
"Ah! Abi mah cuma muter-muter, ujung-ujungnya kan alhamdulillah..."<br />
<br />
"Tapi alhamdulillahnya beda! Sini kamu! Dibilangin orang tua bercanda terus!"<br />
<br />
"Ampun abi! Ahahahaha! Geli!"<br />
<div align="center">***</div><br />
Senja keesokan harinya, kalimat takbir bertalu-talu dimana-mana. Seolah mengiyakan semua yang dikatakan bapak tadi. Bapak yang menghabiskan malam takbir bersama keluarganya, di rumahnya, jauh di sudut kota. Jauh dari euforia ‘kemenangan' yang diselebrasikan ‘segelintir' orang dengan ‘kampanye' dan hura-hura tanpa makna. Tanpa mengerti hakikat ‘kemenangan' mereka yang sebenarnya...<br />
<div align="center">***</div><br />
<i>"Allahuakbar...</i><br />
<br />
<i>Laailaahaillallahu wallahu akbar...</i><br />
<br />
<i>Allahuakbar...</i><br />
<br />
<i>Walillaahilhamdu.."</i>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-5686261719498787792010-04-26T13:07:00.000+07:002010-04-26T13:07:06.548+07:00Ngebut = Nikmat<span xmlns=""></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggFwQmrjJXN-H4d-Epnqw85cFAdVVsyrURlZIDwgdGoh1W73J8heyjFpxtPnNz4fGFhyphenhyphenrqGy49Aih8YxhNsAyQXVmtNHOHP2YrvF3bdwW_ShanYcduYNh0y_t69abQuwAbpYos4o3blNI/s1600/road.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEggFwQmrjJXN-H4d-Epnqw85cFAdVVsyrURlZIDwgdGoh1W73J8heyjFpxtPnNz4fGFhyphenhyphenrqGy49Aih8YxhNsAyQXVmtNHOHP2YrvF3bdwW_ShanYcduYNh0y_t69abQuwAbpYos4o3blNI/s320/road.gif" /></a></div><br />
<span xmlns="">"Ouch! Sakit...."<br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***<br />
</span></div><span xmlns="">Masih kuingat, aku terseret bersama motorku. Setiap detail kejadiannya. Bunga api di jalan raya, proses demi proses menyakitkan itu ter-flashback di ingatanku. Seperti sebuah video yang memutar ulang kejadian langka itu. Tentu aku tak mengharapkan dalam video flashback imajinasiku, aku terseret bersama motorku sama persis seperti ketika Lorenzo terseret bersama motornya ketika balapan.<br />
</span><br />
<span xmlns="">Kupegangi lututku... perih... telah berkali-kali aku jatuh dari motor, tapi baru kali ini kurasakan sakit seketika. Sedikit kusyukuri, karena setahuku, jika terasa sakit tepat setelah jatuh, artinya sakitnya hanya sementara. Beda dengan kecelakaanku yang lain dulu, aku langsung bisa bangkit dan seolah tidak terjadi apa-apa, tapi malam dan hari-hari berikutnya, kuhabiskan dengan terkapar di tempat tidur.<a name='more'></a><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***<br />
</span></div><span xmlns="">Ah! Tolol... aku bukan lagi anak usia belasan dengan darah mudanya yang bergejolak, mudah mendidih dan tersulut. Aku juga bukan pembalap profesional yang memang menjadikan kebut-kebutan sebagai profesinya. Tapi entah kenapa, mengebut, begitu menyenangkan bagiku. Melewati celah-celah sempit di antara kendaraan, melahap tikungan dengan kemiringan yang extreme, semuanya benar-benar mendebarkan. Kukatakan pada diriku "bodoh kau! Berapa nyawa yang kaubahayakan. Jalan raya ya jalan raya saja, bukan arena balap ataupun sirkuit adu pacu kendaraan". Tapi, aku tak bisa ingkar... ngebut = nikmat.<br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***<br />
</span></div><span xmlns="">"Antri bang?"<br />
</span><br />
<span xmlns="">"Kenapa?"<br />
</span><br />
<span xmlns="">"Tolong benerin motor... abis jatoh"<br />
</span><br />
<span xmlns="">"Ooh... ini... Sendirian aja kan mas?"<br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***<br />
</span></div><span xmlns="">Satu lagi hal yang kusyukuri... aku jatuh sendiri... Untunglah.. setidaknya, cuma nyawakulah yang kupertaruhkan. <br />
</span><br />
<span xmlns="">Tak bisa kubayangkan, jika di jok belakang motorku duduk orang lain, yang tanpa tahu apapun, merasakan risiko dan akibat yang sama karena kelalaianku. <br />
</span><br />
<span xmlns="">Aku tak ingin. Biarlah aku saja yang bodoh dan menerima akibat dari kebodohanku. Cukup sekali, aku mencelakakan orang lain karena kecerobohanku. <br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***<br />
</span></div><span xmlns="">"Hei Merry... Ingatkan aku, untuk tidak mengebut ketika ada nyawa di belakangku"<br />
</span><br />
<span xmlns=""></span>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9015281302044147276.post-32983505799362562522010-04-20T12:52:00.001+07:002010-04-20T13:02:41.210+07:00Lamunan Menunggu : Jalan Raya<span xmlns=""></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXhZWkJiJt8czErFGSj3rwwMyXW3D8GeraFxUlh6ltaKESpsckeXjZK3PSwZNXsicWExiJtPoYKR1qeFfTcgGp4SwhY5yKc2w4mVfgDZIioKlUfDPWMIx7mDlNbH0Zp3f-6mgim7sG2j8/s1600/3gatti.com.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXhZWkJiJt8czErFGSj3rwwMyXW3D8GeraFxUlh6ltaKESpsckeXjZK3PSwZNXsicWExiJtPoYKR1qeFfTcgGp4SwhY5yKc2w4mVfgDZIioKlUfDPWMIx7mDlNbH0Zp3f-6mgim7sG2j8/s320/3gatti.com.jpg" /></a></div><br />
<span xmlns="">Menunggu...</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Orang bilang membosankan. Orang bilang memuakkan. Akan coba kubuktikan. Apakah benar demikian?</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><div style="text-align: center;"><span xmlns=""><br />
</span></div><span xmlns="">Menunggu membosankan karena 'menunggu'. Jadi, akan kubuat menunggu itu bukan hanya 'menunggu'.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Di sini, di tepi keramaian jalan raya, akan kulewati proses menungguku dengan menuliskan apa saja yang seketika terlintas di mata, telinga, maupun pikiranku.</span><br />
<a name='more'></a><span xmlns=""></span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Lima belas menit telah berlalu dari saat kuparkir motorku. Di depan hotel 'termegah' di kotaku. Bukan! Bukan untuk 'menginap'. Jangankan 'bermalam' dan menikmati segala fasilitasnya yang <i>glamour</i>, hanya untuk menjejakkan kaki di lantainya, membayangkan pun aku tak pernah (baca : kantong cekak).</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Teman yang kutunggu belum juga nampak. </span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Di depanku, terlihat dua anak kecil bermain gelembung sabun. Seringkali tak kupahami anak kecil dan segala imajinasinya. Bagaimana aku heran, dulu pun aku bersikap serupa. Meniup-niup gelembung sabun? Apa menariknya? Apa manfaatnya?</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Ah! Dewasa. Jika menjadi dewasa (baca: tua) berarti harus kehilangan segala imajinasi dan keluguan seorang anak, andai menjadi tua dan 'tahu' bukan kepastian.. Aku ingin selamanya menjadi bocah.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5F-PXMDUCU1sp1GsfWkJSkBTCQaN_qOcj170D3VwTA6wCF1f9zQXz3p4BGFW7NOpykjk8H4zHTQNUwMUuA7XcsG0vmDcBI_JkWP7buY-ARDHMuGp7Ll1Q_xD5KmmT-Z_cFXqfRJtMYyg/s1600/hobbyscience.com.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5F-PXMDUCU1sp1GsfWkJSkBTCQaN_qOcj170D3VwTA6wCF1f9zQXz3p4BGFW7NOpykjk8H4zHTQNUwMUuA7XcsG0vmDcBI_JkWP7buY-ARDHMuGp7Ll1Q_xD5KmmT-Z_cFXqfRJtMYyg/s200/hobbyscience.com.jpg" width="200" /></a></div><span xmlns="">Tak pernah risau masa depan, tak pernah risau segala macam hiruk pikuknya kehidupan. Tak pernah risau akan topeng-topeng senyuman manusia. Tak pernah risau akan kebohongan-kebohongan yang menutupi kebusukan. Tak pernah risau dengan segala macam perhitungan logika dan realita. Tak pernah merisaukan apa saja. Karena kerisauannya, dengan mudah menguap bersama air matanya. Seperti gelembung itu. Muncul, lalu hanya dengan sentuhan kecil, pecah tak berbekas.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><div style="text-align: center;"><span xmlns=""><br />
</span></div><span xmlns="">Tiba-tiba ayah mereka menemani mereka. Bermain gelembung sabun juga. Malah, justru lebih aktif si bapaknya. Bah! Ini yang anak kecil sebenarnya siapa?</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Tapi lumayanlah.. 'naluri'nya hanya mendorongnya berebut gelembung sabun, yang takkan merugikan siapa-siapa. Selain anaknya, yang merasa terganggu tetapi senang di saat yang sama.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Lain lagi jika 'naluri berebut'nya, mendorongnya memperebutkan hal-hal yang bukan menjadi haknya. Hal-hal yang dapat men'celaka'i dirinya, maupun siapa saja.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Kau pasti tahu siapa yang kumaksud. </span><br />
<br />
<span xmlns="">Ingin rasanya melihat mereka tak lagi berebut kekuasaan. Berebut perhatian massa. Yang semuanya berujung pada berebut 'jatah'. </span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Sudahlah. Kami sudah bosan melihat kalian rebutan itu-itu saja! Sekali-sekali, gantilah acara. Bagaimana jika kutawarkan suatu pengganti yang menarik: berebut gelembung sabun!</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Gelembung di mana-mana. Belum habis juga. Setidaknya, cukup memberikan 'hiasan' diantara kepulan asap rokok, maupun kendaraan.</span><br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***<br />
</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Jalan raya, seolah ancaman maut dimana-mana. Mulai dari asap racun, sampai hal-hal yang tak diinginkan, hingga polisi pun harus menancapkan berbagai peringatan di sana-sini.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAvv-EIoK7UQRblY-ihwwkNCvd4ziTm4jcqwh4e41V_E2dPiHKV05j1PDr_OA0def2-eGe0c60QDRxJLss0aQ4YhnifaPSpHknH8EA5DnwvaXgTBfCRtRXH9-pBWf6s9YHVccDmBcMx4M/s1600/blog.its.ac.id.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAvv-EIoK7UQRblY-ihwwkNCvd4ziTm4jcqwh4e41V_E2dPiHKV05j1PDr_OA0def2-eGe0c60QDRxJLss0aQ4YhnifaPSpHknH8EA5DnwvaXgTBfCRtRXH9-pBWf6s9YHVccDmBcMx4M/s200/blog.its.ac.id.jpg" width="200" /></a></div><span xmlns="">Tak heran, jika angka kematian karena kecelakaan di Indonesia, lebih tinggi dari serangan jantung (yang sebelumnya menjadi penyebab kematian tertinggi).</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Pun demikian, masih juga begitu banyak pihak yang lalai (melalaikannya). </span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Tak cukup helm SNI sebagai solusinya, jika untuk memperoleh lisensi (baca : SIM), tak perlu ujian! kita dengan mudah dapat membelinya.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Polisi menyimpulkan pengendara sebagai akar permasalahan. Sebaliknya, pengendara lah yang menganggap polisi sebagai akar 'segala' permasalahan (baca : preman berseragam).</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Benang kusut! Takkan pernah habis jika saling menyalahkan. Imbauan 'warga negara yang bijak' nampaknya perlu disosialisasikan.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Polisi takkan pernah menilang jika memang tak ada yang bisa dipermasalahkan. Juga, tak kan pernah tumbuh budaya 'mencari tilangan' jika memang tak ada warga yang 'menantang' peraturan.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Polisi juga takkan pernah membudayakan calo SIM, jika saja tak ada warga -yang begitu banyaknya- mengharap segala sesuatu yang instant.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Kapan rantai setan itu berakhir? Adalah jika satu mata rantai itu diputus.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns=""><b>Kita </b>juga salah satu mata rantai itu.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Aku melamun... Tak terasa, waktu berlalu, entah cepat, atau lambat. Yang jelas, aku sudah mulai resah.<br />
</span><br />
<span xmlns="">"Sial! Berapa lama lagi dia datang?" Ah! Rutukan pertamaku.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Rupanya di sini bukan hanya aku yang menunggu seorang diri. Tapi toh aku tak mengenal mereka. Malas juga aku menyapa mereka.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Aku sudah bisa membaca dari wajahnya jika kudekati salah satu dari mereka:</span><br />
<span xmlns=""> </span><br />
<br />
<blockquote><span xmlns="">Aku tersenyum menghampiri. Duduk di sebelahnya.</span><br />
<span xmlns=""> </span><br />
<span xmlns="">"Lagi nunggu mbak?"<br />
</span><br />
<span xmlns="">"Mbak??? Gw COWO mas!"</span></blockquote><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns=""></span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Daripada risih karena kesalahpahaman orang ketika mereka bertemu denganku -entah sudah berapa ribu kali aku dipanggil mbak-. Dan, dari semuanya, tak henti-hentinya aku gondok jika mendengar kata 'mbak' ditujukan kepadaku.<br />
</span><br />
<br />
<span xmlns="">Lebih nyaman di sini, menulis dan melamun.<br />
</span><br />
<br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">*** </span></div><span xmlns=""><br />
</span><br />
<span xmlns="">Kulihat ke belakang melalui spionku, berharap yang terlihat di sana adalah temanku.</span><br />
<span xmlns=""><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span xmlns="">***</span></div><div style="text-align: center;"><span xmlns=""><br />
</span></div><span xmlns="">Ah! Itu dia. Lamunanku pecah! Bersamaan dengan pecahnya gelembung yang baru saja kupandangi...</span>Widhi Satyahttp://www.blogger.com/profile/10672558024136688415noreply@blogger.com1