Allahu Akbar... Allahu Akbar....



***
"Dengan ini, dewan hakim menyatakan, yang bersangkutan tidak bersalah."

Tok! Tok!

"Allahu Akbar!"
***

"Woi! Minggir! Satpol sialan! Berani lo ya! Allahu Akbar!"
***

"Kami! Para demonstran menuntut mundur Beliau sekarang juga! Rekan-rekan, ayo kita seret dia keluar! Allahu Akbar!"
***

"Demi agama dan akidah kita, serang rumah ibadah dan bacok mereka! Allahu Akbar!"
***

"Pemirsa, kami disini melaporkan dari tempat akan dipindahkannya rutan para tersangka kasus pengeboman. Baik. Kita lihat mereka telah keluar dan sedang menuju ke mobil yang akan membawa mereka ke rutan mereka yang baru.

"Bagaimana tanggapan Anda dengan pemindahan rutan Anda?"

"Allahu Akbar!"
***

*) Ilustrasi di atas, hanyalah fiktif belaka. Kesamaan tempat dan peristiwa, merupakan kebetulan yang disengaja.
***

Kumatikan televisi. Kubuang koran. Edan... Kenapa kalimat takbir jadi pasaran begini ya? Terdakwa, kriminal, demonstran, ‘wakil rakyat' yang berantem di gedung DPR, pembukaan pidato, semua ‘melafalkan' kalimatullah seolah kalimat itu hal yang remeh saja.


Seolah kalimat tersebut menjadi ‘semboyan kebengisan', konotasi anarkisme, teriakan murka, luapan keras kepala, dan segala macam stigma miring lainnya.

‘Allahu Akbar' dimana-mana. Dan ironisnya, "dimana-mana" itu, seringkali tidak pada tempatnya. Seringkali, dan memang sangat sering, "dimana-mana" itu adalah di tengah kerusuhan, di tengah ke'semrawut'an, di tengah ke'ganjil'an.

Orang dengan mudahnya melakukan konfrontasi dan penganiayaan sambil meneriakkan "Allahu Akbar". Orang dengan mudahnya mengacak-acak ‘tempat maksiat' juga sambil meneriakkan "Allahu Akbar".
"Pernah ga denger triakan Allahu Akbar.

Pake Peci tapi kelakuan bar-bar.

Ngerusakin bar...

Orang ditampar-tampar"

[Slank - Gossip Jalanan]
***

Aku bisa membayangkan. Jauh pada zaman Rasulullah SAW. Di tengah kobaran perang yang berkecamuk, mempertahankan akidah, menghadapi kaum Kafir Quraisy. Teriakan Allahu Akbar lantang dimana-mana. Bukan sebagai "mantra untuk membunuh musuh". Tapi lebih kepada seruan dan ikrar akan ‘identitas' mereka. Identitas yang terancam menjadi amukan, siksaan, bahkan kehilangan nyawa, hanya karena ‘keceplosan' mengucap kalimatullah.


Maka, dalam perang yang berkobar (sebagai bentuk resistensi, bukan agresivitas, juga karena tak dapat lagi dicegah oleh dakwah diplomatik) itulah, setiap muslim dengan lantang meneriakkan kalimat takbir yang jika kuterjemahkan secara bebas berarti...
"Kami muslim! Dan kami bangga! Akidah kami tak kan goyah! Meskipun nyawa menjadi taruhannya, kami tak gentar sedikitpun!"
Dan, ketika salah satu mujahid gugur, maka kalimat Takbir yang bertalu-talu itu menjadi saksi syahidnya mereka. Serta menjadi ‘nyanyian' disepanjang jalan mereka, menuju tempat yang telah dijanjikan-Nya, ditemani bidadari bermata jeli.
"dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenankanNya kepada mereka." [Muhammad : 6]
***

"Allahuakbar... Allahuakbar..."

"Hei! Udah... brenti dulu kerjanya... dah dipanggil tu ma Bos Besar!"
***



Seruan yang sungguh indah. Terlebih Jika dilafalkan oleh penyeru yang loyal kepada Tuhannya, dan berdedikasi terhadap jamaah. Seruannya akan merasuk masuk sangat dalam, dan menggetarkan setiap relung jiwa yang dilaluinya.

Ketika pagi, seruan itu menjadi alarm. Supaya manusia tak lebih ‘malas' dari ayam. Gemanya yang bertalu-talu, memecah kesunyian pagi. Membangunkan, serta mengingatkan kita akan telah diberikannya hari baru (lagi). Dan bahwasanya tak ada ucapan syukur yang lebih baik dari mendirikan sholat, dan bukan tidur.
"Assholaatu khairumminannaum..."
***

Tengah hari, seruan itu menandai jeda aktivitas. Ketika otak telah penat, mata telah lelah, serta perhatian telah diforsir setelah setengah hari berkutat dengan pekerjaan.. Saatnya istirahat sejenak. Segarkan semua indera, dengan siraman air wudlu, dan kembali bersihkan hati dengan ruku' dan sujud.
"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan." [Al Hajj : 77]
***

Pun ketika sore, senja, bahkan malam hari. Untuk mengingatkan kita, bahwa sebelum dan setelah ke'tidaksadar'an kita ketika tidur, maupun kala ditengah kesibukan aktivitas, kita diwajibkan untuk selalu mengingat-Nya, seruan indah itu selalu dikumandangkan. Seruan yang diawali dan diakhiri pula dengan kalimat Takbir.
***


Ketika kita telah bersuci serta menjaga kesucian pakaian dan tempat. Ketika kita telah berdiri dengan tuma'ninah, dan niat telah terikrar di kalbu. Kita tundukkan pandangan tanda kekhusu'an penuh di hadapan Sang Khaliq. Kemudian mengangkat tangan, dan melafalkan....

"Allahu Akbar...."
"(yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya," [Al Mu'minuun : 2]
***

"Alhamdulillah... Besok puasa terakhir ya bi?"

"Iya... Tapi hamdalah kamu itu dalam rangka apa? Bersyukurlah hanya jika kamu dalam ramadhan ini, telah dapat menahan hawa nafsu sepenuhnya, bukan hanya cuma nahan lapar dan haus. Jangan bersyukur karena kamu seolah bisa bebas melakukan apa saja, seperti hari-hari biasa.. Karena semua amalan ramadhan, tanpa mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari setelahnya, ibarat sia-sia belaka. Lagipula, seorang muslim, akan selalu rindu dan mengharapkan datangnya ramadhan lagi. Paham kamu?"

"Paham bi! Setelah ramadhan, bisa bebas makan di siang hari lagi kan?"

"Ah! Kamu dinasihatin abi bercanda terus..."

"hehehe..."

"Dasar anak-anak... Kamu bisa dengan santainya mengguraukan makanan yang sehari-hari kamu tak pernah risau, dan bisa hampir dipastikan, bahwa setiap hari kamu selalu akan mendapatkannya di meja makanmu. Tapi tahukah kamu nak? Berapa banyak anak-anak seusia kamu tak seberuntung kamu?"

"Maksud abi?"

"Bersyukurlah nak..."

"Ah! Abi mah cuma muter-muter, ujung-ujungnya kan alhamdulillah..."

"Tapi alhamdulillahnya beda! Sini kamu! Dibilangin orang tua bercanda terus!"

"Ampun abi! Ahahahaha! Geli!"
***

Senja keesokan harinya, kalimat takbir bertalu-talu dimana-mana. Seolah mengiyakan semua yang dikatakan bapak tadi. Bapak yang menghabiskan malam takbir bersama keluarganya, di rumahnya, jauh di sudut kota. Jauh dari euforia ‘kemenangan' yang diselebrasikan ‘segelintir' orang dengan ‘kampanye' dan hura-hura tanpa makna. Tanpa mengerti hakikat ‘kemenangan' mereka yang sebenarnya...
***

"Allahuakbar...

Laailaahaillallahu wallahu akbar...

Allahuakbar...

Walillaahilhamdu.."

Posted by Widhi Satya | at 13.26

0 comments:

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...