Hikayat Slamet





Namaku Slamet. orang Jawa. Orang desa. Kalau orang kota bilang, aku orang udik. Namaku juga pasaran. Pasti ada di setiap tikungan. Sama nasibnya seperti Asep di tanah Parahyangan.

Padahal, maksud bapak sama simbokku baik. Ngasih nama Slamet ya supaya Selamat. Ga Cuma di dunia, tapi di akhirat.. Kata orang nama adalah doa. Dan kurasa, Slamet adalah doa paling simple tapi lengkap. Seperti doa sapu jagad.

"robbana atina fiddunya khasanah. Wafil akhirati hasanah"

***

"Met! Pergi beliin simbok minyak tanah..."
...
"Ya mbok..."

***

Aku pengangguran. Maka, perintah-perintah seperti membeli minyak tanah, apapun keperluan ke warung sebelah, menjadi keseharian yang aku hanya bisa pasrah.

Lulusan SMA sepertiku, semakin tak punya nilai saing di tengah gilasan globalisasi seperti sekarang ini. Aku hanyut oleh arus media dan informasi yang tak bisa kuarungi karena keterbatasan fasilitas maupun kapasitas diri.

***

"Ini kapitalisme Met..."
...

***

Begitu kata Bejo. Tetanggaku, yang juga kawan masa kecilku. Seperti namanya, dia bejo (beruntung -Ind) bernasib baik. Orang tuanya mapan secara ekonomi. Hingga sekarang, dia bisa sekolah sampai perguruan tinggi.

***

"Sekolah mahal Met.. Maaf.. Mbok ga bisa nyekolahin kamu..."

***

Aku hanya bisa mengangguk haru. Simbokku, seorang babu. Untung anaknya hanya aku. Satu.

***

...

Langit masih gulita. Sengaja aku mendahului simbokku yang memang biasa telah terjaga di pagi buta. Sholat shubuh di mushola, maupun menyiapkan makanan dan segala rupa.

***

Tulisanku dalam suratku. Aku yakin, ketika membacanya, mbok meremasnya di dadanya, menitikkan air mata. Lirih gumam dari bibirnya mengiringiku, tapi aku bisa mendengarnya berkata :

"Semoga kamu slamet nak.."

***

"Mbok, aku pergi... Kita tak punya, pun tak bisa membelinya. Aku akan membuatnya...

Perahu Mbok..."
...

Posted by Widhi Satya | at 13.20

0 comments:

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...