Hikayat Ibadah Terberat





Aku…

Seorang pria biasa. Wajar. Seperti pria-pria beruntung lainnya. Berkeluarga, memiliki anak, memiliki ekonomi mapan. Aku memiliki segala hal yang menjadi idaman para pria normal di seluruh dunia.

Kehidupan keluargaku juga biasa. Wajar. Normal. Dengan istriku, tak pernah ada percekcokan berkelanjutan. Tak pernah ada perang urat syaraf yang meletup menjadi perang deklamasi. Anakku pun tumbuh sehat dan normal seperti anak-anak lainnya. Berpendidikan cukup, uang saku cukup, kasih sayang lebih dari cukup.

Bisa dikatakan, kehidupanku sempurna.

***

Tapi itu kehidupan dunia. Ketika kupahami dalam sebuah perenunganku, dunia tetaplah dunia. Dia hanya persinggahan, bukan tujuan. Dalam perenungan itu pula kusadari, bahwa aku telah sering mengabaikan ibadah rohani.

Kusekolahkan anakku ke TPQ. Kusuruh mereka rajin sholat dan mengaji. Sementara aku, mengabaikan dan meninggalkannya berkali-kali. Padahal, mereka menjadikanku sebagai teladan dan tolok ukur pasti.

***

Ketika itu pulalah aku  tersadar… “Inilah titik balikku”.

Posted by Widhi Satya | at 15.48 | 2 comments

Ada Kail di 20 Mei 2010


Ada kail di 20 Mei 2010.
...

***

Ada kail, tentu ada umpan. Ada umpan, tentu ada yang dipancing. Ada yang dipancing, tentu ada yang memancing. Ada yang memancing, tentu ada maksud dan tujuan, mengapa ia memancing?

Posted by Widhi Satya | at 09.28 | 0 comments

Gurun Kehidupan [3] : Bersahabat dengan Pasir


Kembali melanjutkan perjalanan. Masih berlatar belakang dan berlokasi di gurun yang sama. Tempat-tempat yang dikunjunginya, antara lain : pembuat telur pasir, pembuat patung pasir, sawah dari pasir.

Tujuan kedua adalah pembuat telur pasir. ‘Tsuna Tama' namanya. Didemonstrasikan bahwa telur diletakkan di sebuah kotak, dikubur dengan pasir, kemudian dimasukkan ke dalam pemanggang. Setelah matang, kemudian dibelah, dan diperlihatkan perbedaan telur yang dipanggang dengan pasir dan telur yang hanya direbus dengan cara biasa.

Telur pasir, diproduksi massal sebagai home industry. Beberapa karyawan juga dipekerjakan di sana. Toko-toko di sekitar, menjadi tempat pemasaran. Sebagai souvenir, maupun untuk dikonsumsi, telur pasir tetap menjadi pilihan yang menarik.

Posted by Widhi Satya | at 10.09 | 1 comments

Gurun Kehidupan [2] : Bukan Hanya Batu di Tepi Jalan


Lain ladang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya...

Begitu pepatah mengatakan. Begitupun apa yang kusaksikan. Lain negaraku, negara kita, Indonesia tercinta, lain pula di Jepang sana. Pikiran dan kesan serupa, lenyap, sirna, tak sampai acara memasuki menit kelima.

Episode petualangan yang kusaksikan, berlatar belakang di sebuah gurun pasir.

"I can't believe such a place exist in this country. You see? We see nothing but sand here", begitu kata petualang, sekaligus pembawa acara yang tak kuingat siapa namanya.

Posted by Widhi Satya | at 10.05 | 0 comments

Gurun Kehidupan [1] : Petualang



20:00 BBWI. Seperempat jam sebelumnya, aku baru saja tiba di rumah. Kehujanan, kedinginan, kelaparan. Melewati jalanan yang gelap, pekat tanpa satupun penerangan selain kilat. Malam yang naas bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku. "Aku makhluk bernyawa, yang takkan pernah bisa didikte oleh rutinitas, lalu kemudian menyalahkan mereka sebagai monotonitas". Tantangan, liku, rintangan, besar, ataupun kecil, bagiku seperti sebuah ‘iklan' yang meruntuhkan kebosanan.

"Ini baru namanya hidup".
***

20:00 BBWI. Ada apa dengan waktu itu? Ada apa dengan jam itu? Apa yang terjadi ketika jarum pendek menunjukkan angka delapan, tepat ketika jarum panjang menunjuk angka dua belas?

Posted by Widhi Satya | at 09.57 | 0 comments

Provokasi Seorang Maling

Sumber Gambar : Mekarina.wordpress.com





Namaku maling bin maling. Bapakku maling. Ibuku juga maling. Profesi kami sekeluarga maling.

Organisasi? Sindikat? Mafia? Atau apapun kalian menyebut kami. Toh, kami tetap maling. Seperti maling-maling yang lainnya, pekerjaan kami mencuri.

Mencuri telah menjadi akar budaya, telah mendarah daging, telah merasuk ke sumsum, menjadi penyakit genetis tak terputuskan, tak tersembuhkan.

Mencuri memang telah menjadi penyakit akut kami. Tapi, kami tak ingin sendiri. Beruntunglah, karena mencuri bersifat ‘familiar' hingga ia mudah untuk ditularkan.

Posted by Widhi Satya | at 18.03 | 0 comments

Anda Uang Mempunyai Nyawa...

Indonetwork.web.id



“Bagus banget! Berapa duit ni bang?”


“Pak, aku pengen nglanjutin sekolah..”
“Maaf ya nak, bapak tak punya uang…”


“Sekarang kamu ama dia?”
“Iya mak. Setelah kuliahnya selesai, rencana dia mau nglamar saya”
“Punya duit berapa dia berani nglamar kamu!”

Posted by Widhi Satya | at 16.52 | 0 comments

Walimah : Antara Doa dan Puja


Hari Ahad. Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. Budhe mengajakku ke acara walimah pernikahan kerabatnya. Kerabat yang mana, tak perlulah kutanya. Yang perlu kulakukan hanyalah mengantar Budhe, sebagai perwujudan rasa hormat dan bakti serta ‘imbal jasa’ karena Beliau telah merawatku selama ini.

***

Sampai sudah di tujuan. Motor kuparkirkan. Seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya, “tempat yang akan kutuju adalah restoran megah”.

Ada satu pemandangan yang menarik perhatianku karena menurutku, amat mencolok, kontras sekali dengan segala rupa yang ada di sekelilingnya. Ah… kurasa tak seorang pun menyadarinya.

Posted by Widhi Satya | at 14.53 | 0 comments

Kenapa Harus Budi?


Ini Budi...


Ini ibu Budi..

Ini bapak Budi..
***

Bel berbunyi. Ani menutup buku. Dipandanginya sampul hijau dan kelabu, dengan tulisan kuning besar menyala, "Bahasa Indonesia Kelas 1".

Setiap hari, setiap kali, setiap saat, ketika dibacanya, Ia selalu bertanya. "Kenapa harus Budi?".

Posted by Widhi Satya | at 09.59 | 1 comments

Ada burung di Antennaku

Dokumentasi Pribadi





Hai kau yang bertengger di atas sana. Berkicau dan meracau. Nyaring, merdu, semaumu, sesukamu.

Tak tahukah kau, benda apa yang kau hinggapi? Ah! Mana mungkin kau tahu.

Kuberitahu. Itu namanya antenna. Kata bapakku yang ahli elektronik, gunanya untuk menerima transmisi sinyal UHF.

Apa itu UHF? Mana kutahu! Yang aku tahu, dari benda yang kau tenggeri itu, televisiku bisa menampilkan gambar dan acara yang beraneka rupa.

Jangan tertawa, karena saking beranekanya, hingga tak jarang (baca: sering) sekali seragam, hingga aku bingung, apakah mungkin televisiku monogram?

Posted by Widhi Satya | at 09.49 | 0 comments

Sekedar Ingin Menyapa...

quotesaarcade.com



"Assalamu'alaikum.. Warahmatullah... Wabarakaatuh.. Lama banget ga da kabar? Sehat ja kan? Sibuk apa sekarang?"
***

Tak lebih dari lima kalimat, untuk mengawali silaturahmi. Tak lebih dari satu jam untuk merekatkannya kembali.
***

Posted by Widhi Satya | at 17.28 | 1 comments

Sekolah Pasar dan Pasar Sekolah

beritakorslet.wordpress.com





Jika sarjana, hanya menjadi 'sarjana'. Tak lagi ahli di bidangnya. Tak lagi berdedikasi dengan profesinya.

Nilai dalam ijazahnya, bukan representasi nilai kemampuannya.

Toga dan semacamnya, hanya menjadi seremonial belaka, tanpa penghayatan tanggung jawab terhadap pengembangan profesi, bidang ilmu, serta sosial.

Posted by Widhi Satya | at 17.06 | 0 comments

Aku Ingin Menjadi Maling Ayam Saja

Kaskus.us



Namaku mr. X (jangan bilang siapa-siapa ini nama sebenarnya). Aku berprofesi sebagai pejabat di salah satu lembaga. Jabatan yang kuperoleh dengan merogoh saku sangat dalam, hingga sakupun tak lagi berisi apa-apa. Pun, aku masih harus pinjam kesana kemari guna meloloskan goal-ku.

Tak terhitung uang kukeluarkan untuk 'membeli' simpati masyarakat, yang karena tingkat intelejensi, keinginan, serta kebutuhan atau mungkin ‘sedikit' ketamakan, hingga mayoritas dari mereka tak cukup hanya di'sogok' dengan visi misi.

Hingga akhirnya... Akupun duduk di sini. Di salah satu lembaga kehormatan. Orang bilang gedung tempatku bernaung menyimbolkan kepongahan, tapi bagiku, ia menjaminkan keamanan, kenyamanan, serta kenikmatan. Tak ketinggalan pula, kemewahan tentunya.
***

Posted by Widhi Satya | at 14.47 | 0 comments

Kuman yang Terlupakan...

Sebelum kita makan dik...

Cuci tanganmu dulu...

Menjaga kebersihan dik...

Untuk kesehatanmu...


***

Masih ingat potongan lagu ciptaan Pak Kasur diatas? Lagu tersebut sempat populer di pertengahan dekade 1990-an. Bagiku, lagu dengan melodi sederhana dan lirik yang singkat tersebut, sarat akan makna.

Selain karena telah jarangnya, lagu-lagu serupa di ‘era' sekarang ini. Era industrialisasi ‘cinta' yang bertanggung jawab terhadap ‘matang' lebih dininya anak-anak, yang karena tak ada pilihan lain ‘terpaksa' menjadi konsumennya.

Tak ada lagi Sherina, tak ada lagi Joshua, tak ada lagi Tasya. Hingga, The Virgin, D'massiv, Wali, dan sebagainya menjadi ‘satu-satu'nya pilihan mereka.

Posted by Widhi Satya | at 14.29 | 1 comments

Paradoks Kopiah


"Ayo Wak Aji! Bisa jelasin nggak?"

***

Wak Aji. Begitu dosenku biasa menyebutku. Dosen sekaligus dekan di fakultasku. Mungkin dia tak tahu nama asliku. Baginya, aku bukanlah Widhi Satya. Aku adalah "Wak Aji"

***

Belakangan kutahu, nickname yang diberikannya, (karena aku satu-satunya mahasiswa yang mengenakan kopiah di kelas) ternyata berasal dari bahasa Betawi. Di Betawi, karena dialek serta logat mereka, panggilan yang sehari-hari kita sapa dengan Pak Haji, berubah bunyinya, hingga akhirnya orang-orang Betawi pun menyebut dengan "Wak Aji".

Aneh memang. Ternyata, bukan nama lah yang menjadi ‘identitas'ku di matanya. Tapi...

Kopiah.

Posted by Widhi Satya | at 11.44 | 3 comments

Unas yang tak Lunas



Ujian Nasional (Unas / UN – istilah mana yang lebih tepat aku tak tahu. Tak peduli lebih tepatnya). Aku (sengaja) mencoba acuh dengan 'festival' tahunan pendidikan ini. Mencoba tutup telinga dengan suara-suara kontra (memang tak kudengar 1 suara pro pun). Karena dalam pandanganku, jika diterapkan dalam kultur masyarakat seperti di Indonesia, ujian nasional lebih banyak madhorot daripada manfaatnya.

Posted by Widhi Satya | at 17.28 | 0 comments

Transformasi


1 Mei. Awal bulan baru. Bulan Masehi lebih tepatnya. Tapi bagiku, ini bukan cuma sekedar pergantian bulan. Bukan cuma sekedar tanggal satu. Tapi memiliki arti lebih. Transformasi.

Posted by Widhi Satya | at 16.44 | 0 comments