Unas yang tak Lunas



Ujian Nasional (Unas / UN – istilah mana yang lebih tepat aku tak tahu. Tak peduli lebih tepatnya). Aku (sengaja) mencoba acuh dengan 'festival' tahunan pendidikan ini. Mencoba tutup telinga dengan suara-suara kontra (memang tak kudengar 1 suara pro pun). Karena dalam pandanganku, jika diterapkan dalam kultur masyarakat seperti di Indonesia, ujian nasional lebih banyak madhorot daripada manfaatnya.

Ingin bukti? Sekarang kita coba flashback (ulas lebih tepatnya) dengan sedikit pengandaian. Misalkan, aku seorang siswa SMA (fresh comer), apa yang terlintas di kepalaku jika disebutkan kepadaku kata 'sekolah' (meskipun misalnya aku masuk sekolah favorit). Belajarkah? Menuntut ilmu kah?

Maaf... aku mencoba terbuka dan jujur. Sekolah bagiku hanya kegiatan rutinan saja. Pagi berangkat, siang pulang, sampai rumah (jarang) belajar. Sudah. Kehidupan utamaku saat itu adalah bersosialisasi (baca : hang out, having fun) dengan anak sebayaku, dan ketekunanku lebih kucurahkan kepada hal-hal 'ekstra' di luar kegiatan rutinan sekolah.

Dan, silakan, boleh disurvei, 70% (bahkan mungkin lebih) remaja SMA berpikiran dan menjalani 'kehidupan' sama denganku. Jikalau ada, yang 30% tersebut, dan mendedikasikan masa remaja mereka dengan kesadaran penuh untuk melulu 'sekolah' aku haqqul yakin dalam hati terdalam mereka, bukan itu yang mereka inginkan.

Maaf...bukan berarti aku menyamaratakan semua tipikal remaja sama denganku. Tapi, memang itulah hal yang se'wajar'nya. 30% yang kusebutkan di atas, adalah mereka yang matang lebih dini, dewasa sebelum waktunya. Kesadaran dan bertanggung jawab bahwa 'sekolah' yang dijalaninya adalah merupakan amanah, adalah tipikal manusia dewasa seutuhnya. Beda dengan remaja 'murni', yang bahkan belum memiliki gambaran akan masa depannya, karena di mata mereka (aku dahulu) hidup adalah "saat ini" persetan "nanti".

Jadi, sampel yang akan kuambil adalah sampel 'remaja' bukan manusia dewasa dalam usia remaja. Karena sangat jarang dan sulit menemukan tipikal yang terakhir ini, apalagi dengan invasi 'ideologi' melalui berbagai media tentang bagaimana 'seharusnya' seorang remaja seperti sekarang ini.

Bisa dibayangkan bukan? Ketika sekolah hanya menjadi kegiatan rutinan, pelajaran dan pengajaran hanya dianggap 'gangguan'. Belajar dan semacamnya? "emang besok ada ulangan ya?" Bah! Jadwal ulangan pun kau tak tahu... :nohope:

Itulah sebabnya tradisi belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) telah menjadi budaya yang mengakar sangat dalam... (jangankan kebut semalam, waktu ujian nasional aku sama sekali tak belajar pun, pernah... :nohope:). SKS masih menjadi senjata andalan guna menghadapi ujian. Masih mending malam SKS dimanfaatkan 'sebaik-baiknya' untuk belajar. Tak jarang bukan? Malam SKS justru digunakan untuk menulis 'rajah'. Really :nohope:.

So, is it any wrong with the 'system'? Nope! System never wrong. People does. Sebenarnya, apa tujuan diadakannya ujian nasional? Meng-kiri-kan mata pelajaran yang tak diikutsertakan dalam Unas? Mencoba menciptakan manusia 'perfect' yang menguasai semua bidang ilmu? Mencoba mem'benda'kan siswa dengan menilai mereka seutuhnya melalui angka-angka? Atau malah menguji skill masing-masing siswa serta keampuhan 'rajah' yang mereka petakan nasib mereka didalamnya setelah mengarungi malam panjang SKS? APA???

***
 
Kuharap...

Jangan lagi ada tangis keputusasaan dan perasaan tak berguna karena menganggap diri 'tak kompeten'. Jangan lagi ada manusia-manusia yang 'mendadak' religi (hanya) dalam beberapa hari, dan menjadi manusia yang sama sekali jauh dari cerminan 'terpelajar' di hari yang lainnya melalui euforia selebrasi yang sama sekali tak bermakna apa-apa selain hura-hura.

Jangan lagi.... ada jasad yang mati...

***

Maaf... opini di atas hanyalah sebatas opini... tanpa solusi yang berarti sama sekali... karena... aku hanyalah Mr. Theory.

***
Terinspirasi dari ... kisah Wahyu Ningsih

Posted by Widhi Satya | at 17.28

0 comments:

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...