Hikayat Ibadah Terberat





Aku…

Seorang pria biasa. Wajar. Seperti pria-pria beruntung lainnya. Berkeluarga, memiliki anak, memiliki ekonomi mapan. Aku memiliki segala hal yang menjadi idaman para pria normal di seluruh dunia.

Kehidupan keluargaku juga biasa. Wajar. Normal. Dengan istriku, tak pernah ada percekcokan berkelanjutan. Tak pernah ada perang urat syaraf yang meletup menjadi perang deklamasi. Anakku pun tumbuh sehat dan normal seperti anak-anak lainnya. Berpendidikan cukup, uang saku cukup, kasih sayang lebih dari cukup.

Bisa dikatakan, kehidupanku sempurna.

***

Tapi itu kehidupan dunia. Ketika kupahami dalam sebuah perenunganku, dunia tetaplah dunia. Dia hanya persinggahan, bukan tujuan. Dalam perenungan itu pula kusadari, bahwa aku telah sering mengabaikan ibadah rohani.

Kusekolahkan anakku ke TPQ. Kusuruh mereka rajin sholat dan mengaji. Sementara aku, mengabaikan dan meninggalkannya berkali-kali. Padahal, mereka menjadikanku sebagai teladan dan tolok ukur pasti.

***

Ketika itu pulalah aku  tersadar… “Inilah titik balikku”.


***

Adalah seorang kawanku, rekan sekerjaku, yang kuanggap memiliki kedewasaan rohani. Kuajak dia berbicara dari hati ke hati.

***

“Aku ingin memperbaiki ibadahku kawan. Tapi aku tak ingin ibadahku nanti bukan hanya sebatas ritualitas belaka, tapi memiliki esensi serta kaya akan arti.”

“Kalau begitu, cuma satu pesanku. Kau akan mencapai titik itu, ketika kau mampu melakukan ibadah yang paling berat”.

“Ibadah yang paling berat? Apa itu kawan?”

“Temukanlah dulu olehmu. Cari dengan akalmu. Jalani dengan tubuhmu. Jika telah kautemukan, beritahu aku.”

***

Percakapan berakhir. Dia meninggalkanku yang termangu. Berfikir, apa kiranya maksud dari ucapannya? Seperti apakah ibadah terberat itu?

***

Kuputuskan untuk menjawabnya dengan pengalamanku.

***

Kumulai risetku dengan Sholat Dhuha. Di tengah kesibukanku, kucoba untuk meluangkan waktu.

Berat… Sungguh berat.

Yang bahkan untuk makan pun aku sering tak sempat, kini aku harus mengendap-endap berwudlu dan sholat.
Setelah beberapa kali menjalani, aku berujar dalam hati, “Mungkin ini ibadah terberat”

***

Belakangan baru kupahami, se-tak sempat apapun aku sekarang ini, nanti, aku bahkan tak punya waktu lagi.


***

Keesokan harinya, aku mengalihkan risetku. Kali ini Qiyamul Lail-lah bahan uji praktik berikutnya. Di tengah kantuk dan akumulasi rasa lelahku, kucoba bangkit dari tidurku.

Berat… Sungguh berat.

Yang bahkan aku sering tak tidur karena lembur. Dan siang hari, masih diakumulasi dengan forsiran pekerjaan yang tak henti. Tidur, bagiku memiliki jatah waktu yang amat mini.

Kini, aku harus bangkit di malam hari. Menyingkirkan setan di pelupuk mata yang membebani. Menindih tubuhku dari kepala sampai kaki. Menyingkap selimut yang hangat, bersentuhan dengan air yang dingin dan menyengat.

Berat… Sungguh berat.

Setelah beberapa kali menjalani, aku berujar dalam hati, “Mungkin ini ibadah terberat”

***

Belakangan baru kupahami, se-ingin apapun aku tidur dan menutup mataku sekarang ini, nanti, aku toh akan tidur dan menutup mata untuk selamanya. (Hingga waktu dibangkitkan kembali).


***

Kutemui kawanku lagi. Kuceritakan pengalamanku. Hasil dari risetku. Serta hipotesaku.

***


“Bukan… Bukan itu kawan. Yang kau jalani itu mungkin berat. Tapi bukan yang terberat.”
“Gila! Apa pula yang lebih berat dari mereka?”
“Istiqomah kawan…”


***

“Kau bisa, semua orang bisa, menjadi muslim yang begitu tekun dalam sehari, dua hari, tiga hari, bahkan berhari-hari. Tapi sedikit sekali dari mereka bertahan dengan performa keimanannya setiap hari.

Istiqomah bukanlah sekedar amalan kawan. Itu adalah manifestasi hidup. Konsistensi, dedikasi, loyalitas, totalitas, sampai dengan ikhlas, semua terimplementasi di sana.

Jangan cuma menjadi muslim musiman. Mendadak ‘alim’ hanya saat ramadhan atau ketika mendapat hidayah spontan. Taubat dan ingat akhirat, hanya mengendap seperti temp folder yang hilang ketika restart.

Camkan! Rasukkan kawan! Berat memang… karena inilah ibadah terberat.

Ibadah kawan, bukan hanya amalan. Hakikat darinya adalah implikasi dalam perilaku kehidupan.”

***

Masih terekam jelas di ingatanku, kata-katanya, ketika berlalu dan meninggalkanku…

***
Ucapkanlah: “Aku beriman kepada Allah”, kemudian beristiqomahlah dalam ucapan itu” (HR. Muslim)

Posted by Widhi Satya | at 15.48

2 comments:

Mugi" mengatakan...

baguuss............

sungguh cerita diatas sangat menyentuh, InsyaAllah akan sangat bermanfaat bagi siapapun yang telah membaca dan memahaminya terlebih bisa mengamalkannya, terutama buat aku dan juga buat Mas Widhi sendiri tentunya yaa..?? ^^'

AMIN YA ALLAH . . .

n_new_here mengatakan...

Subahanallah,,
kok merinding ya baca nya,,,
xixixi,,

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...