Gurun Kehidupan [1] : Petualang



20:00 BBWI. Seperempat jam sebelumnya, aku baru saja tiba di rumah. Kehujanan, kedinginan, kelaparan. Melewati jalanan yang gelap, pekat tanpa satupun penerangan selain kilat. Malam yang naas bagi sebagian orang. Tapi tidak bagiku. "Aku makhluk bernyawa, yang takkan pernah bisa didikte oleh rutinitas, lalu kemudian menyalahkan mereka sebagai monotonitas". Tantangan, liku, rintangan, besar, ataupun kecil, bagiku seperti sebuah ‘iklan' yang meruntuhkan kebosanan.

"Ini baru namanya hidup".
***

20:00 BBWI. Ada apa dengan waktu itu? Ada apa dengan jam itu? Apa yang terjadi ketika jarum pendek menunjukkan angka delapan, tepat ketika jarum panjang menunjuk angka dua belas?


Tak ada yang istimewa dengan penunjuk waktu. Yang menarik adalah apa yang membuatku tertarik dan kusaksikan di layar kaca tepat pada jam itu.
***

Sebelumnya, aku ingin langsung tidur saja. Rasa lelah telah menarik-narikku, seperti anak kecil, merengek-rengek minta ditidurkan. Minta diistirahatkan.

Tapi tak afdhal rasanya, jika tak menemani, dan sekedar berbicara dengan bapakku. Biarlah, kutemani Beliau menghabiskan teh panasnya, meskipun hanya sebentar.
***

Mataku tertuju pada layar televisiku. Televisi yang sering kucaci-maki itu. Ketika melihat sesuatu yang tak mengenakkan hatiku, pun ketika melihat hal-hal yang tak bermutu. Ah... Televisiku, malangnya nasibmu...

Perhatianku tertuju pada acara yang sedang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Bukan... Bukan di Indonesia. Melainkan di Jepang sana. NHK World namanya. Entah apa nama acaranya, aku lupa. Rasa lelah telah mematikan separuh kesadaran dan ingatanku. Tapi, dengan separuh perhatian pun, aku masih bisa mencerna dan dibuat ternganga.

Acara yang kusaksikan, jika di Indonesia mungkin namanya "Jejak Petualang" atau acara-acara seragam lainnya (aku tak bilang plagiat lho ya?). Awalnya, akupun berpikiran sama. Ah, paling-paling cuma tontonan orang jalan-jalan, ke tempat-tempat rekreasi, makan-makan, belanja. Berpikir mereka dapat setidaknya, mewujudkan mimpi pemirsa yang tak mampu kesana.

Atapun tontonan orang bertualang, ke tempat-tempat terbuka, "berkawan dengan alam" katanya, makan-makanan menjijikkan (baca: haram), ataupun meneliti penduduk (baca: suku) asli yang sebagus apapun mereka kiaskan dalam bungkus acara mereka, takkan menutupi bahwa mereka sedang "mengeksploitasi keanehan orang terbelakang".

Bukannya aku tak suka, bukannya aku alergi, apalagi anti. Aku tetap menikmati. Paling tidak, untuk orang sepertiku, orang yang berkantung cekak (baca: miskin), aku hanya bisa mengatakan "Toh mereka yang keluar duit, kenapa aku harus ribut?"

Paling-paling aku cuma bisa iri, melihat orang membelanjakan (aku tak bilang menghamburkan lho ya?) uang berjuta-juta, memancing di lautan lepas terbuka, memperoleh ikan yang takkan habis 5 kali makan dilepaskan begitu saja.

Bandingkan denganku, memancing di pinggiran empang, memperoleh ikan yang habis dalam satu gigitan. Besar sedikit saja hasil tangkapan, girang bukan kepalang.

Ingin kubilang, "Cobalah pak, cuma modal yang tak sampai sepuluh ribu, kalau perlu buat dari bambu. Sandal jepit, kalau perlu tak usah bersandal, lebih menyehatkan dari sandal kesehatan yang harganya tak masuk akal. Celana pendek, kaos robek, menyusuri pinggiran empang sawah. Rasakan sensainya pak! Pasti tak kalah!"

"Lalu, kalau saya mau mencoba menjadi Anda?" jika kemudian dia bertanya.

"Ya.... Gantian saya yang mencoba menjadi Anda!?"
***

Ah... Tinggalkan acara-acara yang (buatku, wabil khususan, cuma buatku) tak ‘membumi' dan membuatku membanjirkan air liur saja. Aku ingin, tapi melihat kondisi kantung, dompet, maupun rekening, rasanya tak mungkin. "Melihat Anda di layar kaca pak, bukannya melipur lara, sebaliknya, menambah ingin saja."
***
bersambung....

Posted by Widhi Satya | at 09.57

0 comments:

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...