Gurun Kehidupan [2] : Bukan Hanya Batu di Tepi Jalan
Lain ladang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya...
Begitu pepatah mengatakan. Begitupun apa yang kusaksikan. Lain negaraku, negara kita, Indonesia tercinta, lain pula di Jepang sana. Pikiran dan kesan serupa, lenyap, sirna, tak sampai acara memasuki menit kelima.
Episode petualangan yang kusaksikan, berlatar belakang di sebuah gurun pasir.
"I can't believe such a place exist in this country. You see? We see nothing but sand here", begitu kata petualang, sekaligus pembawa acara yang tak kuingat siapa namanya.
Aku pun tak habis pikir, bagaimana mungkin? Negara yang berlokasi secara geografis jauh di sebelah utara khatulistiwa. Daerah beriklim sub tropis. Yang selain karakter empat musimnya, sangat jauh dari kesan ‘iklim panas' dan sulit membayangkan, bahwa ada gurun disana.
Tapi itu belum seberapa, keterkejutanku baru saja dimulai. Tak berapa lamanya, sampailah Si Petualang ini di sebuah desa. Bayangkan, desa di sebuah gurun! Dimana tak ada apa-apa di sekelilingnya selain pasir! Jika saja ini Arabia, aku mungkin takkan sebegitu hebohnya, tapi ini Jepang! Negara dengan tingkat pertumbuhan industri jauh melebihi negara-negara lain di Asia.
Menjadikan gurun sebagai pemukiman, sebagai pilihan, dan mengabaikan kehidupan industrial penuh dengan gadget elektronis yang memudahkan kegiatan. Benar-benar pilihan yang bagi kebanyakan orang tak masuk akal.
Desa ini (aku juga tak ingat namanya) akhirnya, seperti tempat-tempat unik lainnya, juga menjadi tujuan kujungan turis dan wisatawan.
***
Seorang gadis penduduk setempat, berseragam sekolah, mendekati petualang kita. "What? You wanna take my picture? Go ahead". Diizinkan, Si Gadis pun segera mengambil gambar petualang kita yang telah bersiap dengan posenya.
"Arigatou Gozaimasu", Si Gadis Berterima kasih sambil membungkukkan badan, khas orang Jepang.
"Dou Itashimashite (you're welcome - Eng; sama-sama -Ind)", begitu jawab petualang juga sambil membungkukkan badan.
"Are you a photography school's student?" petualang kemudian bertanya, dalam dua bahasa. Petualang kita, seorang Kaukasia (orang Indonesia menyebutnya bule), dia menguasai bahasa Jepang.
Si Gadis menjawab dalam bahasa Jepang. Dari translate yang tertulis dibawahnya, kubaca "Yes, i study at photography school, and i usually come around here, to take a picture and socialize with a tourist". Dia berkata demikian, sambil menggerak-gerakkan tangannya.
"Hey, i can understand your language, so why you moved your hands? Is it a language?" petualang bertanya.
"Yes, i deaf. I can't hear. So beside i talk with my mouth, i use my hands to communicate either." Si Gadis menjelaskan masih sambil menggerakkan tangannya.
"Then how can you understand me speaking? Are you reading my lips?" petualang kembali bertanya lagi, juga dengan dua bahasa.
"Some kind of that" Si Gadis menjawab, tak ketinggalan gerakan tangannya juga.
Dari sini, aku mulai ternganga. Bagaimana seorang gadis tuli, dapat berbicara dengan normal, layaknya orang biasa. Bahkan lebih dari itu, dapat berkomunikasi dengan wajar, dengan membaca bibir lawan bicaranya.
***
Dari literatur yang pernah kubaca, seorang yang terlahir tuli, sebagian besar (hampir semua), juga menjadi bisu. Itu karena mereka tak dapat menyerap informasi bahasa yang sejak lahir diberikan oleh orang tua, maupun lingkungan sekitar mereka.
***
Layar kemudian beralih tampilannya. Menjadi seperti sebuah thriller, yang menampilkan preview mereka. Siswa-siswa yang terlahir memiliki keterbatasan kemampuan pendengaran (aku pernah membaca dalam sebuah makalah, untuk mengganti kata ‘penyandang cacat' dengan kata-kata lain selain ‘cacat', karena konotasinya yang negatif dan aproduktif), mereka berjuang melawan keterbatasan dengan keuletan. Mereka berkarya, dengan fotografi.
Dari hasil karya fotografi mereka yang ikut di-preview-kan pula, dapat kulihat sentuhan jiwa didalamnya.
Dijelaskan pula oleh gurunya (yang juga tuli), bahwa bersosialisasi dengan turis, adalah salah satu upaya untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka (para siswa tunarungu -pen).
Mengamini gurunya, beberapa siswa kemudian membuka suara, bahwa meski ragu dan kikuk pada awalnya, tapi akhirnya mereka mendapatkan rasa percaya diri ketika telah dapat membuka percakapan dan bertukar sapa dengan para turis.
***
"Subhanallah...."
Tanpa terasa, kalimat tasbih terucap dari bibirku. Bagaimana sebuah keterbatasan fisik, sama sekali tak membatasi semangat. Bukan semangat untuk menjadi ‘normal', tapi semangat untuk lebih berani menjadi diri mereka sendiri, dengan cara mereka sendiri.
Sebuah semangat untuk berani menunjukkan eksistensi. Bahwa, "aku ada, aku telah tercipta, maka kehadiranku di dunia, takkan kubuat sia-sia."
Terlihat sekali dalam semangat mereka terdapat sebuah manifestasi: "Aku dapat hidup mandiri, dengan caraku sendiri. Tanpa perlu bergantung, apalagi menjadi beban orang lain."
***
Jika mereka yang memiliki keterbatasan fisik saja, memiliki semangat hidup demikian hebatnya, masihkah kita lupa akan karunia Sang Kuasa?
Masihkah kita enggan bersyukur? Syukur yang kemudian diimplementasikan dalam aplikasi tindakan sehari-hari, berupa karya, serta bermanfaat bagi sekitarnya...
Masihkah kita ingkar? Dengan hidup bermalas-malasan serta sering menyalahkan keadaan. Anti dengan kesulitan serta lemah terhadap cobaan?
Ingkar bahwa dibalik kesulitan, setelahnya pasti ada kemudahan. Yang secara otomatis mengangkat kita pada derajat kemuliaan.
Ingkar bahwa dibalik cobaan terdapat kenikmatan. Terdapat angin musim gugur yang meruntuhkan daun-daun kekhilafan.
Masihkah kita zalim? Dengan melihat buku hanya dari sampulnya saja. Melihat manusia hanya dari bajunya saja. Melihat keterampilan hanya dari kondisi fisiknya saja. Tubuh memiliki ruh. Ruh yang sama. Nyawa yang sama. Keinginan yang sama. Kehendak yang sama. Cita-cita yang sama. Kebutuhan yang sama. Hati yang sama.
Masihkah kita zalim degan bersikap risih, jijik, serta tindakan-tindakan yang berusaha menepikan keberadaan mereka.
Zalim karena enggan menerima mereka sebagai bagian dari sosial dengan tangan terbuka.
Kezaliman itu, takkan beroleh apa-apa selain luka di hati mereka, serta perasaan depresi dan rendah diri, karena dianggap "batu di tepi jalan. Ada dan tiadanya, tak diacuhkan, tak diabaikan"
Wallahua'lam bisshowab...
***
Jika melihat mereka dan semangat hidup mereka. Aku geli. Pada idiom "patah hati lalu bunuh diri".
***
Bersambung...
0 comments:
Posting Komentar
i'm waiting for your comment...
share your opinion on the box below...