Walimah : Antara Doa dan Puja
Hari Ahad. Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya. Budhe mengajakku ke acara walimah pernikahan kerabatnya. Kerabat yang mana, tak perlulah kutanya. Yang perlu kulakukan hanyalah mengantar Budhe, sebagai perwujudan rasa hormat dan bakti serta ‘imbal jasa’ karena Beliau telah merawatku selama ini.
***
Sampai sudah di tujuan. Motor kuparkirkan. Seperti yang sudah kubayangkan sebelumnya, “tempat yang akan kutuju adalah restoran megah”.
Ada satu pemandangan yang menarik perhatianku karena menurutku, amat mencolok, kontras sekali dengan segala rupa yang ada di sekelilingnya. Ah… kurasa tak seorang pun menyadarinya.
***
Sugeng Rawuh…
Mohon do’a restu…
***
Begitulah kiranya yang sering sekali, amat sering, umum, wajib, dan sepertinya ada ‘undang-undang’ tak tertulis bahwa kalimat tersebut harus ada dan terpampang di setiap walimah (pesta perayaan, orang jawa menyebutnya slametan).
***
Terlepas dari nilai-nilai syari’at Islam dalam walimah (mulai dari sini kita sebut selamatan) akan kucoba definisikan apa itu selamatan.
Selamatan merupakan tradisi, (yang sedikit banyak terinspirasi dari syari’at Islam) yang diawali oleh orang-orang tua, sesepuh, pendahulu, yang kemudian membudayakannya, dan menurunkannya kepada generas-generasi penerus (anak cucu).
Tujuannya sendiri, tentu saja sebagai keselamatan, memohon do’a, supaya diberi kelancaran atas segala maksud, itikad, apa-apa yang diinginkan. Supaya tak ada hambatan berarti, tak terduga, serta di luar jangkauan kemampuan, yang merintangi perjalanan ke depannya.
Akan tetapi, jika kulihat dari kebiasaan ‘mayoritas’ dan yang sering terjadi dalam masyarakat sekarang, ‘selamatan’ telah bergeser makna, fungsi, serta definisinya.
Definisi ‘selamatan’ sekarang, adalah suatu upacara perayaan yang digelar dan dilangsungkan dengan mengundang orang banyak, yang biasanya adalah orang-orang ‘tertentu’ dari kerabat, maupun teman dekat.
Yang aku tekankan di atas adalah upacara perayaan, dan mengundang orang-orang ‘tertentu’.
“Kenapa?”
Orang Jawa bilang, Blaka kemawon lah… (terbuka saja lah -pen). Sering yang terpikir pertama kali ketika mengadakan walimah (pesta perayaan) adalah biaya.
“Biaya untuk apa?”
Biaya untuk membeli gengsi, membeli muka, membeli senyum bangga, untuk kemudian dipertontonkan kepada tamu-tamu undangan yang telah melalui proses penyeleksian sebelumnya.
***
Lalu, jika seperti itu, apa artinya selamatan? Apa hakikatnya? Apa maknanya? Apa implementasinya? Apa wujud nyatanya? Sumbangsih yang terasa secara langsung oleh masyarakat yang berinteraksi dengannya?
Kurasa tak ada, selain foya-foya dan hura-hura semata… Memuliakan tamu katanya. Agaknya terdapat perbedaan yang cukup (baca : sangat) mencolok antara memuliakan dan ‘terlalu’ memuliakan.
Gedung megah, makanan melimpah, pakaian mewah, senyum-senyum sumringah, semua serba wah! Tak ingatkah masih banyak saudara kita yang susah?
***
Perayaan nikah, dengan segala yang berwujud mewah. Alangkah baiknya jika secukupnya saja. Sedangkan sisanya, akan jauh lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk sedekah.
Sedekah, tentu saja, bukan kepada orang yang ‘sama-sama’ (atau bahkan lebih) mewah. Tetapi, mereka yang benar-benar membutuhkanlah yang berhak untuk menikmatinya.
***
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. 17 : 26 - 27)
***
Wisuda, toga, dan segala macam seremonial lainnya. Juga sebagian besar mewah, dan telah mengakar sangat kuat sebagai kultural yang tak memiliki makna apa-apa selain unjuk muka dan sebagai simbol bonafiditas belaka. Di banyak lembaga pendidikan negeri maupun swasta, tak sedikit uang yang dihamburkan untuknya.
Alangkah lebih baiknya jika secukupnya saja, atau tak usah ada dan sekalian hilangkan saja.
Bukankah akan jauh lebih bermanfaat jika uang yang di’sumbang’kan untuk seremonial wisuda, dialokasikan untuk modal usaha. Alternatif lainnya, juga bisa untuk bekerjasama, yang jika tercapai kesepakatan dapat digunakan untuk mendirikan Firma, atau lembaga usaha sejenisnya.
Dengan begitu, akademisi bukan hanya menjadi ‘nominal’ penambah antrean pengangguran. Sebaliknya, menjadi solusi keilmuan dan ketenagakerjaan dengan menciptakan lapangan baru pekerjaan.
***
Aku menanti suatu masa…
Dimana “Sugeng Rawuh” tak hanya menjadi salam pembuka.
Akan tetapi do’a..
Do’a yang dipanjatkan, untuk tamu-tamu kehormatan.
Bukan tamu-tamu yang dihormatkan.
Aku menanti suatu hari..
Dimana pe-”mohon doa restu” benar-benar ingin diberi.
Diberi do’a, bukan diberi puji.
Do’a yang dipanjatkan, dari tamu-tamu yang jumawa.
Bukan tamu-tamu yang iri…
***
Insya Allah, aku akan menjadi bagian dari masa, dan hari itu.
Bagaimana dengan Anda?
***
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. 25 : 67)
***
Nuwun…Widhi Satya
0 comments:
Posting Komentar
i'm waiting for your comment...
share your opinion on the box below...