Ada Kuburan di Tepi Jalan





"Wid! dah pernah denger belom? Di tikungan Ketinggring itu?"

"Mangnya ada apa?"

"Masa ga tau? Di daerah situ angker Wid... ati-ati kalo lewat sana... Nyebut..."

"Apa? Ngebut?"

"Nyebut! Buset dah ni anak!"

"Sori bang... yang dimana si?

"Itu, yang tikungan tajem itu..."

"Oh... yang di pinggir jalan ada kuburannya?"

"Nah disitu! Dah banyak kasus Wid! Yang diboncengin pocong, yang dihalangi pocong rebahan di tengah jalan, yang suara-suara misterius, pokoknya banyak deh!"


"Emang abang pernah liat!"

"Belon si..."

"Beuh! Gw mah pernah ketemu bang!"

"Beneran? Gimana critanya?"

"Waktu gw ketemu dia ne! Dia biling gini ma gw :

"Lo mo lari ya bang...  Lo bisa lari dari gw, dari medi, tapi lo ga bakalan bisa lari dari mati'
... "
...

***

Ada kuburan di tepi jalan. Kulewati setiap hari. Bukan hanya aku, puluhan, bahkan mungkin ratusan kendaraan melewatinya setiap hari. Juga bukan hanya disini, aku yakin puluhan, bahkan ratusan kuburan berada tepat di tepi jalan.

***

Kalo lewat di depan kuburan, bilang nuwun sewu.

***

Begitu kata orang tua dulu. Entah teori darimana. Kurasa, karena sudah budaya Jawa, ‘terlalu' menghormati orang yang lebih tua, bahkan yang ‘terlalu' lebih tua pun kebagian rasa hormat itu. Aku tak mau berprasangka buruk untuk mengatakannya syirik.

Pun, melihat para santri dan kyai pondok pesantren dari berbagai penjuru berbondong-bondong secara musiman ngarep berkah ziarah ke makam-makam para wali. Aku masih tak berprasangka buruk. Mungkin mereka cuma ingin ‘kirim fatihah'.

Perihal ‘mahal'nya biaya untuk kirim fatihah, sampai harus repot-repot dan jauh-jauh, aku juga masih ingin berprasangka positif. Santri juga butuh refreshing.

Terbukti, pernah suatu hari, aku diajak dalam tour ziarah. Dan yang menggelitik mataku adalah, terlampir dalam selebaran itu, tujuan akhir dari tour ziarah ini adalah Pulau Bali!

***

Kembali, ada kuburan di tepi jalan. Setiap hari kulewati. Keberadaannya, seperti melambai-lambai, menggapai-gapai, meraih-raih, setiap orang yang melewati. Berharap untuk sekedar menengoknya, beruntung jika mengingatnya.

Tak terhitung, entah berapa kali aku melewati kuburan ini setiap hari. Begitupun dengan kendaraan lain. Kuyakin, sama sepertiku, tak sempat mereka repot-repot menghitung.

Tapi, kuharap mereka sama sepertiku juga, sempat untuk menyadari.

Menyadari keberadaan kuburan ini... Menyadari mati.

***

Kudengar sambutnya tiap pagi. Bergaung. Bergema. Keras! Lantang! Melebihi klakson ketergesaan pagi yang menyalak jalang.

***

"Kemana kau pergi? Berangkat beraktifitas? Pergilah! Carilah nafkah! Tapi pastikanlah semuanya barokah. Carilah ilmu! Tapi pastikanlah, tak kau monopoli hanya untuk dirimu. Pandangi aku! Sadari! Bahwa kau akan jadi bagian dariku. Maka, kau akan ingat semua itu."

***

Kudengar sapanya tiap senja. Sayup. Tapi tetap terdengar. Bahkan membuat jiwa bergetar.

***

"Selamat jalan kawan.. Pulang. Mungkin juga berpulang. Tak ada jaminan esok datang."

***

Mendengar sapanya. Aku tersadar. Kuburan itu, bukan di tepi jalan.

Tapi tepat di tengah jalan. Di depan mata.

Dekat... Sangat dekat...
...

(/dhi)

Posted by Widhi Satya | at 13.39

3 comments:

Pipit Fiharsi mengatakan...

mengingat mati...

n_new_here mengatakan...

merinding deh baca nya,,
keren,,
tu bisa nulis mas,,

Anonim mengatakan...

menyentak...membuat kepala nunduk

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...