"Assalamu'alaikum.. Warahmatullah... Wabarakaatuh.. Lama banget ga da kabar? Sehat ja kan? Sibuk apa sekarang?"
***
Tak lebih dari lima kalimat, untuk mengawali silaturahmi. Tak lebih dari satu jam untuk merekatkannya kembali.
***
Posted by Widhi Satya
|
at
17.28
|
Jika sarjana, hanya menjadi 'sarjana'. Tak lagi ahli di bidangnya. Tak lagi berdedikasi dengan profesinya.
Nilai dalam ijazahnya, bukan representasi nilai kemampuannya.
Toga dan semacamnya, hanya menjadi seremonial belaka, tanpa penghayatan tanggung jawab terhadap pengembangan profesi, bidang ilmu, serta sosial.
Posted by Widhi Satya
|
at
17.06
|
Namaku mr. X (jangan bilang siapa-siapa ini nama sebenarnya). Aku berprofesi sebagai pejabat di salah satu lembaga. Jabatan yang kuperoleh dengan merogoh saku sangat dalam, hingga sakupun tak lagi berisi apa-apa. Pun, aku masih harus pinjam kesana kemari guna meloloskan
goal-ku.
Tak terhitung uang kukeluarkan untuk 'membeli' simpati masyarakat, yang karena tingkat intelejensi, keinginan, serta kebutuhan atau mungkin ‘sedikit' ketamakan, hingga mayoritas dari mereka tak cukup hanya di'sogok' dengan visi misi.
Hingga akhirnya... Akupun duduk di sini. Di salah satu lembaga kehormatan. Orang bilang gedung tempatku bernaung menyimbolkan kepongahan, tapi bagiku, ia menjaminkan keamanan, kenyamanan, serta kenikmatan. Tak ketinggalan pula, kemewahan tentunya.
***
Posted by Widhi Satya
|
at
14.47
|
Sebelum kita makan dik...
Cuci tanganmu dulu...
Menjaga kebersihan dik...
Untuk kesehatanmu...

***
Masih ingat potongan lagu ciptaan Pak Kasur diatas? Lagu tersebut sempat populer di pertengahan dekade 1990-an. Bagiku, lagu dengan melodi sederhana dan lirik yang singkat tersebut, sarat akan makna.
Selain karena telah jarangnya, lagu-lagu serupa di ‘era' sekarang ini. Era industrialisasi ‘cinta' yang bertanggung jawab terhadap ‘matang' lebih dininya anak-anak, yang karena tak ada pilihan lain ‘terpaksa' menjadi konsumennya.
Tak ada lagi Sherina, tak ada lagi Joshua, tak ada lagi Tasya. Hingga, The Virgin, D'massiv, Wali, dan sebagainya menjadi ‘satu-satu'nya pilihan mereka.
Posted by Widhi Satya
|
at
14.29
|
"Ayo Wak Aji! Bisa jelasin nggak?"
***
Wak Aji. Begitu dosenku biasa menyebutku. Dosen sekaligus dekan di fakultasku. Mungkin dia tak tahu nama asliku. Baginya, aku bukanlah Widhi Satya. Aku adalah "Wak Aji"
***
Belakangan kutahu, nickname yang diberikannya, (karena aku satu-satunya mahasiswa yang mengenakan kopiah di kelas) ternyata berasal dari bahasa Betawi. Di Betawi, karena dialek serta logat mereka, panggilan yang sehari-hari kita sapa dengan Pak Haji, berubah bunyinya, hingga akhirnya orang-orang Betawi pun menyebut dengan "Wak Aji".
Aneh memang. Ternyata, bukan nama lah yang menjadi ‘identitas'ku di matanya. Tapi...
Kopiah.
Posted by Widhi Satya
|
at
11.44
|
Ujian Nasional (Unas / UN – istilah mana yang lebih tepat aku tak tahu. Tak peduli lebih tepatnya). Aku (sengaja) mencoba acuh dengan 'festival' tahunan pendidikan ini. Mencoba tutup telinga dengan suara-suara kontra (memang tak kudengar 1 suara pro pun). Karena dalam pandanganku, jika diterapkan dalam kultur masyarakat seperti di Indonesia, ujian nasional lebih banyak madhorot daripada manfaatnya.
Posted by Widhi Satya
|
at
17.28
|
1 Mei. Awal bulan baru. Bulan Masehi lebih tepatnya. Tapi bagiku, ini bukan cuma sekedar pergantian bulan. Bukan cuma sekedar tanggal satu. Tapi memiliki arti lebih. Transformasi.
Posted by Widhi Satya
|
at
16.44
|