Lamunan Menunggu : Jalan Raya



Menunggu...


Orang bilang membosankan. Orang bilang memuakkan. Akan coba kubuktikan. Apakah benar demikian?


***

Menunggu membosankan karena 'menunggu'. Jadi, akan kubuat menunggu itu bukan hanya 'menunggu'.


***


Di sini, di tepi keramaian jalan raya, akan kulewati proses menungguku dengan menuliskan apa saja yang seketika terlintas di mata, telinga, maupun pikiranku.



***


Lima belas menit telah berlalu dari saat kuparkir motorku. Di depan hotel 'termegah' di kotaku. Bukan! Bukan untuk 'menginap'. Jangankan 'bermalam' dan menikmati segala fasilitasnya yang glamour, hanya untuk menjejakkan kaki di lantainya, membayangkan pun aku tak pernah (baca : kantong cekak).


***


Teman yang kutunggu belum juga nampak. 


Di depanku, terlihat dua anak kecil bermain gelembung sabun. Seringkali tak kupahami anak kecil dan segala imajinasinya. Bagaimana aku heran, dulu pun aku bersikap serupa. Meniup-niup gelembung sabun? Apa menariknya? Apa manfaatnya?


Ah! Dewasa. Jika menjadi dewasa (baca: tua) berarti harus kehilangan segala imajinasi dan keluguan seorang anak, andai menjadi tua dan 'tahu' bukan kepastian.. Aku ingin selamanya menjadi bocah.


Tak pernah risau masa depan, tak pernah risau segala macam hiruk pikuknya kehidupan. Tak pernah risau akan topeng-topeng senyuman manusia. Tak pernah risau akan kebohongan-kebohongan yang menutupi kebusukan. Tak pernah risau dengan segala macam perhitungan logika dan realita. Tak pernah merisaukan apa saja. Karena kerisauannya, dengan mudah menguap bersama air matanya. Seperti gelembung itu. Muncul, lalu hanya dengan sentuhan kecil, pecah tak berbekas.


***

Tiba-tiba ayah mereka menemani mereka. Bermain gelembung sabun juga. Malah, justru lebih aktif si bapaknya. Bah! Ini yang anak kecil sebenarnya siapa?


Tapi lumayanlah.. 'naluri'nya hanya mendorongnya berebut gelembung sabun, yang takkan merugikan siapa-siapa. Selain anaknya, yang merasa terganggu tetapi senang di saat yang sama.


Lain lagi jika 'naluri berebut'nya, mendorongnya memperebutkan hal-hal yang bukan menjadi haknya. Hal-hal yang dapat men'celaka'i dirinya, maupun siapa saja.


Kau pasti tahu siapa yang kumaksud. 

Ingin rasanya melihat mereka tak lagi berebut kekuasaan. Berebut perhatian massa. Yang semuanya berujung pada berebut 'jatah'.


Sudahlah. Kami sudah bosan melihat kalian rebutan itu-itu saja! Sekali-sekali, gantilah acara. Bagaimana jika kutawarkan suatu pengganti yang menarik: berebut gelembung sabun!


***


Gelembung di mana-mana. Belum habis juga. Setidaknya, cukup memberikan 'hiasan' diantara kepulan asap rokok, maupun kendaraan.

***


Jalan raya, seolah ancaman maut dimana-mana. Mulai dari asap racun, sampai hal-hal yang tak diinginkan, hingga polisi pun harus menancapkan berbagai peringatan di sana-sini.


Tak heran, jika angka kematian karena kecelakaan di Indonesia, lebih tinggi dari serangan jantung (yang sebelumnya menjadi penyebab kematian tertinggi).


Pun demikian, masih juga begitu banyak pihak yang lalai (melalaikannya).


Tak cukup helm SNI sebagai solusinya, jika untuk memperoleh lisensi (baca : SIM), tak perlu ujian! kita dengan mudah dapat membelinya.


Polisi menyimpulkan pengendara sebagai akar permasalahan. Sebaliknya, pengendara lah yang menganggap polisi sebagai akar 'segala' permasalahan (baca : preman berseragam).


Benang kusut! Takkan pernah habis jika saling menyalahkan. Imbauan 'warga negara yang bijak' nampaknya perlu disosialisasikan.


Polisi takkan pernah menilang jika memang tak ada yang bisa dipermasalahkan. Juga, tak kan pernah tumbuh budaya 'mencari tilangan' jika memang tak ada warga yang 'menantang' peraturan.


Polisi juga takkan pernah membudayakan calo SIM, jika saja tak ada warga -yang begitu banyaknya- mengharap segala sesuatu yang instant.


Kapan rantai setan itu berakhir? Adalah jika satu mata rantai itu diputus.


Kita juga salah satu mata rantai itu.


***


Aku melamun... Tak terasa, waktu berlalu, entah cepat, atau lambat. Yang jelas, aku sudah mulai resah.

"Sial! Berapa lama lagi dia datang?" Ah! Rutukan pertamaku.


***


Rupanya di sini bukan hanya aku yang menunggu seorang diri. Tapi toh aku tak mengenal mereka. Malas juga aku menyapa mereka.


Aku sudah bisa membaca dari wajahnya jika kudekati salah satu dari mereka:


Aku tersenyum menghampiri. Duduk di sebelahnya.

"Lagi nunggu mbak?"

"Mbak??? Gw COWO mas!"



***


Daripada risih karena kesalahpahaman orang ketika mereka bertemu denganku -entah sudah berapa ribu kali aku dipanggil mbak-. Dan, dari semuanya, tak henti-hentinya aku gondok jika mendengar kata 'mbak' ditujukan kepadaku.


Lebih nyaman di sini, menulis dan melamun.


***


Kulihat ke belakang melalui spionku, berharap yang terlihat di sana adalah temanku.


***

Ah! Itu dia. Lamunanku pecah! Bersamaan dengan pecahnya gelembung yang baru saja kupandangi...

Posted by Widhi Satya | at 12.52

1 comments:

mugi" mengatakan...

makin kereeenn.... :) ^^'

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...