Pena vs Pensil



Ruangan itu berukuran 3x4. Ruangan dimana semuanya bermula. Ruangan dimana semuanya diproses. Sempitnya volume ruangan tak membatasi ruang gerak kreativitas mengarungi dimensi imajinasi.

 
Berbagai macam benda tercecer dalam ruang sempit itu. Mengerumuni pria yang duduk memunggungi tempat tidur yang hampir 2 hari tak disentuhnya. Tak ada yang tahu apa yang sedang dikerjakannya sampai begitu menguras konsentrasi dan menyunat jam tidurnya.

 
Detik jam, gesekan pena di atas kertas, serta alunan musik dari tape compo menjadi suara yang mendominasi ruang sempit itu.

 
***

 
Hening... Tak ada lagi pria yang duduk di kursi. Hanya seonggok jasad yang bergumul dengan guling di tengah tempat tidur dengan pose tak beraturan.

 
Rupanya dia menyerah. Tunduk dalam pelukan kantuk. Menyerah dalam buaian lelah.

 
Dia tertidur. Terlelap. Hanyut dalam mimpi yang membuainya. Membawanya melupakan waktu dan segala urusan dunia.

 
***

 
Matanya terbuka. Pria itu pun terjaga. Dipandanginya sejenak langit-langit kamar sembari mengumpulkan serpih-serpih kesadarannya.

 
Dan, ketika si pria meninggalkan ruang sempit itu, dari situlah kisah ini dimulai.

 
***

 
"Huah... Lelahnya... Dua hari tanpa istirahat! Hei jangkung! Masih juga berdiri di pojokan?"

 
"Haha.. iya nih.. Kasihan juga kamu ya?"

 
"Justru kamu yang kasihan.. Diacuhkan.
Hei jangkung! Kamu tahu kenapa majikan kita lebih sering memakaiku?"

 
"Kenapa memangnya?"

 
"Jelas kan? Aku lebih hebat dari kamu! Mau bukti?
Aku banyak digunakan oleh orang-orang dewasa. Aku mewakili kematangan mereka. Aku simbol keteguhan mereka. Karena sekali aku tercoret, tak akan ada kata kembali.
Mereka juga menaruh harapan agar sepertiku, jejak mereka juga abadi.
Dan kau tahu, aku juga representasi kuasa serta ciri mereka.

Bagaimana? Aku hebat kan?"

 
"Hmmm… Apa yang kau katakan, semua sifat-sifatmu ada benarnya. Tapi, tak sepertimu, aku cuma punya satu warna, hingga tak ada pembiasan ketika mengartikulasikanku.

Kau boleh menjadi langganan para dewasa. Tapi, sebelum mereka semua menginjak dewasa, kala mereka masih lugu serta terbata-bata akan aksara, akulah teman setia mereka.
Disaat mereka masih dalam fase kebimbangan karena kurangnya pengetahuan serta belum terbukanya wawasan, akulah pilihan mereka.

Aku menemani mereka belajar percaya diri. Karena kalaupun mereka membuat kesalahan, mereka tak perlu menyesali, cukup menghapus jejakku maka mereka bisa memulai lagi. Ini mengajarkan mereka kehati-hatian, pertimbangan, tapi dengan tetap menatap optimis serta yakin akan kemampuan diri.

 
Dan, semua itu kulakukan dengan mengorbankan tubuhku sendiri. Patah, disayat-sayat mau tak mau, sudah menjadi resikoku."

 
***

 
"Hei jangkung! Sepertinya majikan kita akan pergi. Kita buktikan siapa yang lebih hebat. Aku atau kau, sipapun yang dibawanya dialah pemenangnya"

 

"Terserah kau saja"

 
***

 
Tak lama, pria itu selesai berkemas. Dia berdiri di depan meja kerjanya. Dipandangnya pena dan pensil yang tergeletak. Bimbang sejenak… Dimasukkannya pensil serta pena ke dalam tasnya, dan berlalu meninggalkan ruang sempit itu.

 
Ruang sempit itu.. Beberapa waktu mendatang akan menjadi saksi sebuah peradaban. Dimana pensil dan pena, perannya tak lagi dominan dan mereka tak punya apa-apa lagi untuk dibanggakan selain kenangan masa kejayaan.


 

*) On recall: Pen and Pencil. You'll never be taken away from our heart.

Posted by Widhi Satya | at 08.42

0 comments:

Posting Komentar

i'm waiting for your comment...

share your opinion on the box below...